Memangkas Sentralisme Memperluas Federalisme Revolusioner
Posted by Unknown on Jumat, 07 Agustus 2015 | 0 komentar
Federalisme revolusioner adalah lawan dari sentralisme, yang berbasis pada
inisiatif dan kemerdekaan individu atau organisasi anggotanya. Sementara
sentralisme justru mengekang kritisisme, inisiatif dan kemerdekaan, dan
berpijak pada kepatuhan membabi-buta.
Federalisme revolusioner yang dibahas di sini adalah sebuah rekomendasi
praksis untuk mengembangkan gerakan revolusioner yang mampu menuntun ke arah
sosialisme.
Praktek Metode Revolusioner
Federalisme sebagai alternatif atas bentuk otoritarian, membuka peluang yang
lebih besar untuk prinsip kesetaraan (egalitarianisme), penghapusan hirarki
sosial dan kelas, serta distribusi yang lebih merata. Bentuk ini dibangun
berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kolektifitas sebagai prinsip mendasar
sosialisme. Dengan dasar itulah, federalisme menjadi rekomendasi aktual untuk
mengatasi sentralisme yang telah akut.
Sebagai alternatif revolusioner, federalisme mendorong pengembang-an
asosiasi sukarela di mana semua orang, komunitas atau organisasi berkedudukan
setara dalam kendali dan pengambilan keputusan. Dengan begitu federalisme
merupakan gambaran masyarakat paska-negara dalam revolusi sosialis. Bentuk ini
merupakan antitesa dari kapitalisme dan otoritarianisme, dimana kelompok dan
komunitas memegang kendali dalam penentuan hidupnya.
Perlu saya garis bawahi bahwa organisasi revolusioner mempunyai karakter
spesifiknya. Agar tidak terjebak dalam jargon politik semata, federalisme
haruslah menjadi tumpuan perjuangan untuk sosialisme. Tentu saja dengan melihat
sejauh mana praktek federalisme mewujudkan fungsi dan karakter organisasi untuk
memperluas otonomi dan partisipasi, membangun kritisisme dan inisiatif dari
bawah.
Inilah hakekat dasar federalisme revolusioner sebagai negasi terhadap
sentralisme. Untuk itulah tugas organisasi revolusioner memperluas dan
mengkonkritkan tatanan sosial yang dituju.
Sentralisme Sebagai Penyakit Akut
Sentralisme adalah virus mematikan yang berfungsi melumpuhkan
egalitarianisme dan kreatifitas proletar. Sentralisme pada hakikatnya
menunjukkan kecenderungan sebuah organisasi untuk membangun birokrasi baru.
Maka gerakan perjuangan sosial yang sentralis layak memperoleh kecurigaan
mendasar. Dengan karakter yang sentralistik, segala klaim atas tujuan sosialis
adalah kepalsuan. Legitimasinya terhadap negara justru meremajakan negara dan
otoritarian-ismenya. Banyak pejuang sosial yang naïf karena gagal memahami
logika internal negara. Sebagaimana slogan “mengadopsi sentralisme adalah
taktik dan strategi revolusioner”, ini sangatlah menggelikan.
Ketidakmampuan memahami watak sentralistik terbukti membuat sejarah revolusi
berakhir dengan kegagalan menyedihkan. Revolusi Rusia 1917 adalah contoh
lumpuhnya proses emansipasi sosial karena memukul mundur soviet-soviet dan
komite-komite pekerja di tempat kerja. Kesalahan lain adalah tidak segera
menghapuskan kekuasaan negara. Kaum Bolshevik juga lantas mengeksploitasi
kepercayaan kaum buruh dan petani, dan mereorganisasi kembali negara borjuis
sesuai dengan keadaan saat itu. Di bawah kontrol negara, Bolshevik mematikan
kreatifitas massa revolusioner dengan menghambat perkembangan sistem soviet
merdeka dan komite di tingkat tempat kerja yang mewakili sebuah langkah awal ke
arah pembangunan sebuah masyarakat tanpa negara.
Rosa Luxemburg, sosialis yang dibunuh oleh Freikorps, sebuah
satuan yang saat itu dikontrol oleh Menteri Pertahanan Gustav Noske, yang
juga anggota Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD), pernah mencatat
tentang bahayanya sentralisme. Bagi Luxemburg, sentralisme akan membunuh
spontanitas dan insting revolusioner proletariat yang sejati.
Diagnosa lain akan akutnya penyakit sentralisme ialah terbukanya jalan bagi
otoritas ilegal. Otoritas ini akan menghancurkan kesetaraan dan harmoni dalam
struktur organisasi, begitu sentralisme diaktifkan. Boleh dikata, sentralisme
dan kapitalisme adalah dua hal yang berpangkal pada otoritarianisme.
Dengan begitu federalisme revolusioner sebagai komitmen membangun sosialisme
yang hakiki, dengan prinsip umum non-birokratis dan desentral-isasi, memberi
peluang bagi tumbuh kembangnya organisasi pekerja dan organisasi rakyat yang
revolusioner.
Praksis Federalisme di Masyarakat
Federalisme revolusioner bertumpu atas tujuan untuk mengembangkan seluruh
taktik yang efektif dan mendistribusikan kekuasaan dan kebebasan secara merata.
Praksis ini menegaskan bahwa suatu masyarakat sosialis adalah kontrol-proletar
terhadap revolusi sosialisnya. Melalui federasi revolusioner, sosialisme dapat
diwujudkan dengan menghindarkannya dari retorika kosong yang memanipulasi
kediktatoran proletar dengan kepemimpinan borjuasi partai, serta melumpuhkan
otonomi organisasi pekerja dan rakyat secara luas.
Contoh penerapan prinsip dan bentuk federalisme revolusioner dapat kita
temui dari pengalaman gerakan mahasiswa di Chile. Bastian Fernandez, salah satu
aktivis radikal yang terlibat aktif dalam pergerakan mahasiswa Chile,
menuturkan bahwa luasnya partisipasi dalam gerakan tidak dapat dipisahkan dari
tradisi federalisme yang telah tumbuh di negeri itu sejak dekade 1920-an.
Federasi telah efektif sebagai alat bagi gerakan mahasiswa dan gerakan buruh
dalam meningkatkan taraf partisipasi dan merangkul partisipan gerakan lebih
luas. Federasi mahasiswa, papar Fernandez, adalah “sebentuk pengorganisasian di
mana keputusan-keputusan diambil di basis-basis, dan memiliki organisasi yang
kompleks dimana federasi-federasi ada dari bawah ke atas.”
Contoh lainnya bisa ditilik pada gerakan Zapatista, jaringan global media
independen Indymedia yang mencakup 45 negara, dan masyarakat-masyarakat adat di
seluruh dunia. Bentuk-bentuk tersebut memberi gambaran mengenai efektifitas
federalisme revolusioner dalam kemasan fleksibel.
Sementara di Nusantara, masyarakat Samin di Jawa zaman kolonial
disebut-sebut sebagai contoh penerapan model ini. Dalam bukunya Mohammed, Marx
and Marhaen, Jeanne S. Mintz menyebut pemberontakan samin sebagai komunisme
natural atau komunisme relijius. Sementara Cipto Mangunkusumo tanpa sungkan
melabeli orang Samin sebagai “komunisme utopis”.
Orang Samin menolak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk
negara, melawan peraturan agraria dan menghormati kemerdekaan kolektif dan
individu. Gerakannya diorganisir tanpa kepemimpinan sentral, tetapi melalui
dewan-dewan adat yang menjangkau Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus,
Madiun, Sragen, dan Grobogan dan yang terbanyak di Tapelan. Perlawanan terhadap
pemerintah kolonial ini menunjukan salah satu efektifitas prinsip federasi
revolusioner, ketimbang praktek yang sentralistik.
Gambaran-gambaran di atas memberikan pelajaran bahwa keluruhan jiwa
membangun masyarakat sosialis di tanah kita adalah menyangkut seberapa fokus
kita memenangkan sosialisme. Di tempat kita berpijak, arah taktik dan strategi
revolusioner hanya datang dari keinginan eksplorasi dan praksis revolusioner
yang meluas. Dalam ikhtiar menggulingkan kapitalisme dan membangun sosialisme,
ada banyak peluang yang bisa diraih di sekitar kita. Federalisme revolusioner
merupakan salah satu dari yang banyak itu!
0 komentar for "Memangkas Sentralisme Memperluas Federalisme Revolusioner"
Leave a reply