Aspirasi dan Kegelisahan Masyarakat Adat di Kaimana
Posted by Unknown on Minggu, 07 Juni 2015 | 0 komentar
menyelenggarakan Konferensi Daerah II. Tidak seperti acara DAP pada
umumnya yang cenderung dihindari oleh pemerintah, pertemuan DAP ini
didukung oleh pemerintah kabupaten. Selain dukungan dana, Bupati Kaimana
Hasan Achmad dan semua pejabat penting kabupaten hadir dalam pembukaan
(termasuk Dandim dan Kapolres). Bahkan Sekjen DAP Leo Imbiri, Ketua MRP
Agus Alua, Ketua Majelis Muslim Papua (MMP) Pusat Arobi Aituarauw, dan
beberapa anggota MRP lainnya juga hadir dan menyampaikan materi. Suatu
langkah yang positif untuk mengembangkan hubungan yang konstruktif
antara DAP dengan pemerintah.
Salah satu hasil akhir dari
Konferda II ini adalah memilih pemimpin dan pengurus baru Dewan Adat
Kaimana. Namun yang terpenting di sini adalah melihat agenda apa yang
muncul di dalam konferda tersebut. Hampir semua pemateri disibukkan oleh
keluh kesah dan tuntutan peserta yang terkait dengan pembangunan, a.l.
pendidikan, kesehatan, dan peningkatan ekonomi masyarakat. Yang menonjol
adalah tuntutan mengenai kesempatan orang asli Papua untuk memperoleh
fasilitas dan menduduki jabatan di sektor apa pun. Tema adat yang saya
bayangkan akan mendominasi, tidak menjadi topik utama. Fadhal Alhamid
mengeritik kecenderungan ini dengan mengatakan, “Kebanyakan peserta
tidak mampu membedakan antara pertemuan dewan adat dengan pertemuan
Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan).”
Pada tahap awal
konferda 24 Oktober 2009, setiap suku diwajibkan membuat pertemuan
tertutup dan merumuskan pandangan umum dan rekomendasinya tentang pokok
persoalan yang mereka anggap penting. Tidak jauh dari kesan di atas,
pandangan umum dan rekomendasi sebagian besar suku didominasi oleh
tema-tema non-adat, yakni pendidikan, kesehatan, dan kesehatan dengan
tekanan pada kebijakan khusus bagi orang asli Papua. Kesan yang sangat
menonjol, pada satu sisi, para delegasi merasa pemerintah kabupaten
belum memberikan perhatian yang adil bagi suku-suku mereka. Pada sisi
lain, secara implisit para delegasi juga mengakui sejumlah program
pemerintah yang dianggap berhasil.
Tentu tidak semua abai pada
isu infrastruktur dan struktur masyarakat adat. Suku Irarutu, misalnya,
mengemukakan peninjauan nama-nama asli sebagai identitas suku,
arsitektur, pemetaan wilayah adat, pengembangan kesenian (sanggar tari,
ukiran, lagu). Daftar agenda ini sayangnya tidak dielaborasi oleh
delegasi Irarutu. Koiway berada dalam posisi sulit karena struktur
Kerajaan Namatota berbeda secara mendasar dengan suku-suku lain yang
sebagiannya pernah menjadi subordinatnya. Kelompok Suku Koiway
memunculkan soal hubungan struktural kelembagaan adat antara DAP Kaimana
dengan Kerajaan Namatota. Koiway juga menyarankan pemulihan nama-nama
tempat sesuai dengan nama asli dan meminta semua suku dan Dewan Adat
Kaimana untuk jujur dan berjiwa besar memberikan keterangan yang terkait
dengan hak ulayat dan batas-batas pencarian.

Suku Madewana yang bermukim di Distrik Buruway menuntut pembangunan
rumah-rumah adat bagi setiap suku asli pribumi Kaimana. Setiap investor
asing maupun lokal yang hendak berinvestasi di wilayahnya harus
melibatkan Dewan Adat Kaimana melalui persetujuan Suku Madewana.
Kelompok enam suku yang mendiami Distrik Yamor dan sekitarnya, seperti
Suku Kenavata, Suku Guah, Suku Mee, Suku Napiti, dan Suku Kamoro
menuntut pengakuan eksistensi dari Dewan Adat Kaimana. Dewan Adat
terpilih diminta melakukan peninjauan khusus terhadap batas-batas
wilayah adat antara tujuh suku. Menyangkut pandangan umum Mairasi yang
sebagai salah satu suku terbesar di Kaimana, belum saya peroleh.
Di
antara masalah adat yang ada, batas wilayah adat dilihat sebagai
masalah utama di Kaimana. Sejak lama masalah ini disadari tetapi hingga
sekarang belum ada program baik dari DAP Kaimana maupun pemerintah
kabupaten untuk menyelesaikan masalah ini. Masalah batas wilayah adat
ini muncul ke permukaan ketika ada pembangunan atau kegiatan ekonomi
skala besar di wilayah itu. Contohnya lahan di sekitar kota Kaimana,
selain Suku Koiway, suku-suku lain juga mengklaim wilayah itu dan
menuntut ganti rugi. Yang terakhir, adalah masalah lahan di Distrik
Yamor yang digunakan untuk komplek pemerintah distrik. Ujung dari
konflik itu adalah soal distribusi uang ganti rugi. Untuk menentukannya
secara adil, pemerintah harus mengetahui marga/suku mana saja yang
memiliki hak atas lahan tersebut. Sayangnya, belum pernah ada pemetaan
wilayah adat yang lengkap di wilayah itu.
Ketidakjelasan wilayah
adat hanyalah salah satu masalah. Kepemimpinan dan struktur yang lemah
juga menjadi masalah tatkala pemerintah atau kalangan perusahaan hendak
melakukan negosiasi dengan kepala suku/pimpinan masyarakat adat. Selalu
saja ada kepemimpinan ganda di mana setiap pihak tidak mengakui yang
lainnya. Masing-masing memiliki pendukungnya sendiri. Ujung-ujungnya
terjadi kekerasan atau tindakan agresif (pemalangan jalan, penyegelan
lokasi, penyerangan terhadap pekerja, dsb) dari kelompok-kelompok
kepentingan yang ada. Semua konflik ini sejauh ini terbatas pada
keinginan individu atau keluarga atau kelompok untuk memperoleh uang
ganti rugi sebanyak-banyaknya untuk kelompok mereka sendiri. Pada saat
yang sama kepentingan masyarakat adat secara umum terabaikan.
Sebagian
besar delegasi masyarakat adat memang tidak memberikan perhatian yang
besar pada persoalan adat mereka. Mereka belum melihat bahwa konferda
adat ini penting untuk memperkuat kembali fondasi struktur masyarakat
adat dan kepemimpinan adat. Dengan kuatnya infrastruktur dan struktur
masyarakat adat, kualitas representasi dan kepemimpinan lokal Papua bisa
menguat. Dengan itu posisi tawar orang asli Papua dalam berbagai hal,
terutama dalam penggunaan tanah ulayat atau tanah adat oleh dunia usaha
dan pemerintah, dapat ditingkatkan. Dengan struktur dan kepemimpinan
adat yang solid, kepentingan masyarakat adat terlindungi secara memadai
dan pihak luar mendapatkan kemudahan dalam berurusan dengan masyarakat
adat.
0 komentar for "Aspirasi dan Kegelisahan Masyarakat Adat di Kaimana "
Leave a reply