Direktur Elsham Papua, Ferdinand Marisan saat memberikan keterangan kepada wartawan di Kantor Elsham Papua –
Tiga tahun belakangan ini Lembaga Studi Advokasi Hak Asasi
Manusia (Elsham) Papua mencatat sedikitnya tiga kasus besar pelanggaran
HAM yang terjadi dibeberapa wilayah Provinsi Papua dan beberapa
pelanggaran yang belum mendapat penanganan secara tuntas.
Direktur Elsham Papua, Ferdinand Marisan kepada wartawan di Kantor
Elsham Papua, Rabu (4/5/2016) mengatakan bahwa pelanggatan HAM tersebut
cenderung disebabkan pembatasan terhadap hak kebebasan berekspresi dan
menyampaikan pendapat di muka umum.
“Apa yang dilakukan pihak keamanan terhadap sejumlah aktivis yang melakukan aksi demo termasuk pelanggaran HAM,” katanya.
Marisan mengatakan, tiga kasus terbesar dalam tiga tahun tersebut
diantaranya, kasus penangkapan massal oleh aparat gabungan TNI/POLRI
yang terjadisejak 25 April hingga 3 Mei 2016 dalam kaitan dengan aksi
demo damai yang dikoordir oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang
menyebabkan 1.888 orang ditangkap pada berbagai kota di tanah Papua dan
di luar Papua.
“Kasus yang kedua adalah penembakan pada saat ibadah 1 Desember 2015
terhadap masyarakat Papua di Kampung Wanampompi, Distrik Yapen Timur,
Kabupaten Kepulauan Yapen. Dalam kasus ini empat orang meninggal dunia,
dua orang diantaranya terindikasi mengalami penyiksaan hebat oleh aparat
kepolisian. Selain itu ada delapan orang mengalami luka berat, 306
orang mahasiswa ditangkap di Jakarta dan 32 orang ditangkap di Nabire,”
ujarnya.
Dirinya menambahkan, untuk kasus ketiga pada 2 Mei 2015 lalu dimana
sedikitnya 264 orang aktivis KNPB ditangkap oleh aparat kepolisian
karena para aktivis tersebut melakukan aksi demo damai menolak
peringatan hari integrasi Papua ke dalam NKRI.
“Sumber resmi yang kami dapatkan dari pihak KNPB bahwa antara 30
April hingga 1 Juni 2015, pihak aparat dalam hal ini pihak kepolisian
telah menangkap dan menahan 479 anggota mereka yang terlibat dalam aksi
demo damai,” katanya.
Dirinya menambahkan bahwa selain tiga kasus tersebut ada beberapa
kasus lain yang belum mendapat penanganan secara tuntas adalah konflik
antar kelompok yang terjadi di Pasar Youtefa pada 2 Juli 2014lalu.
Berdasarkan investigasi pihak Elsham Papua dan Bidang Keadilan,
Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode Gereja Kristen Injili di Tanah
Papua, diketahui ada empat orang korban tewas, salah satunya adalah
anggota Polres Jayapura.
“Sementara itu ada dua orang dalam kasus tersebut harus menjalani
perawatan medis di RS Bhayangkara dan proses interogasi di Polres
Jayapura. Kami sudah menyampaikan pengaduan atas kasus tersebut ke
Komnas HAM RI, Kompolnas RI dan Bareskrim Polri namun hingga kini
penanganan baru sampai pada tingkat verifikasi,” ujarnya.
Ditempat yang sama, Kordinator Divisi Monitoring dan investigasi
Elsham Papua, Daniel Randongkir menambahkan, beberapa kasus yang terjadi
diatas sama sekali tidak mendapatkan perhatian yang serius dari
pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan berbagai persoalan HAM di
Papua.
“Banyak kasus yang didiamkan. Kami sudah berupaya melaporkan hal ini
ke Komnas HAM Papua namun sampai saat ini penanganan pihak Komnas HAM
Papua juga belum terlihat, padahal kasus-kasus tersebut perlu dengan
segera ditindak lanjuti agar saksi-saksi ahli atau saksi kunci tidak
hilang. Itu yang ingin dilakukan oleh negara terhadap rakyat Papua,”
katanya.
Untuk itu, pihaknya mewakili aspirasi korban pelanggaran HAM yang
sampai saat ini belum mendapatkan keadilan merekomendasikan beberapa
poin kepada pemerintah Indonesia yaitu meminta Pacific Island Forum
(PIF) segera mengirimkan Tim Pencari Fakta ke Tanah Papua agar bertemu
dengan korban pelanggaran HAM yang terjadi sejak 1 Mei 1963 hingga kini.
“Kami juga meminta agar Negara-negara anggota PBB, Organisasi HAM
Internasional dan seluruh jaringan pendukung penegakan HAM agar
menyerukan dibentuknya suatu Misi Pencari Fakta agar berkunjung ke Papua
sebelum pelaksanaan Universal Periodic Review di Dewan HAM PBB pada
2017 mendatang,” ujarnya.
Selanjutnya Elsham Papua juga meminta pemerintah Indonesia harus
membuka diri dan mau bekerjasama dengan pihak ketiga yang lebih netral
dalam melakukan penyelidikan pelanggaran HAM tanpa melibatkan unsur TNI
dan POLRI sebagai institusi yang kerap melakukan tindakan pelanggaran
HAM di tanah Papua termasuk individu-individu yang tidak memiliki
kualifikasi di bidang HAM.
Tagged with
HUKUM & HAM
Aktivis KNPB dalam truk Polisi dibawa ke Mako Bri-mob dari Expo Waena
Penghadangan, pembatasan ruang demokrasi, penangkapan dan
penahanan terhadap ribuan demonstran KNPB di Markas Komando Brigade
Mobil (Mako Brimob) Kota Raja, Jayapura, Papua, pada 2 Mei disertai
pemukulan dan penyiksaan terhadap aktivis. Warpo Wetipo, Kordinator aksi
di titik aksi Expo mengatakan penahanan dan penyiksaan terjadi terhadap
7 aktivis KNPB di ruang tahanan khusus Markas Komando Bri-mob Karel
Satsuitubun Kota Raja, kota Jayapura, Papua.
“Kami ada tujuh orang diperlakukan tidak manusiawi. Mereka
memperlakukan kami ini seperti binatang,”ungkap Warpo kepada jurnalis
Jubi di Abepura, Kota Jayapura, Papua, Selasa (3/5/2016).
Kata dia, dalam tahanan itu, anggota melakukan interogasi disertai
dengan kekerasan. Ada yang menginjak dada atau punggung. Juga pukulan
dengan popor senjata ke kepala berulang kali.
“Satu orang Polisi datang salam saya. Pace itu langsung tinju saya di
telingga. Telingga saya ini bunyi. Saya tidak sadar satu menit. Saya
sadar ketika ada yang hangat dari telingga. Saya pegang begini keluar
darah,”ungkapnya.
Giliran anggota lain datang menendang di dada dan punggung. Kata dia, dirinya baru merasa sakit ketika bangun pagi berikutnya.
“Kemarin itu tidak sakit tetapi saat bangun pagi sakit. Saya naik
turun tangga asrama itu terasa sesak,” ungkapnya pada 3 Mei 2016.
Arim Tabuni, aktivis KNPB yang ditahan di lingkaran Abe mengakui
polisi bertindak brutal. Polisi memutuskan tali komando aksi dan
menangkap aktivisnya. Aktivis yang ditangkap dinaikkan ke mobil lapis
baja lalu dibawa ke Markas Komando Brimob.
“Pemukulan sejak penangkapan kami di lingkaran Abe jam 9 pagi. Kami
dinaikkan ke dalam mobil baja itu lalu disuruh angkat tangan semua.
Mereka pukul kami di dada dan kepala. Lebih banyak pukulan di dada jadi
kelihatan kami ini tidak luka,” ungkapnya.
Kata dia, sampai di ruanga tahanan khusus dengan suku udara yang
sangat panas, mereka disuruh buka celana. Ada aktivis yang menolak,
dibantu sejumlah anggota polisi.
“Ada yang tidak mau. Ada polisi juga yang bilang tidak usah buka,” ungkapnya.
Kata dia, selama interogasi, polisi melakukan teror. Polisi ancam bunuh aktivis lalu buang ke laut.
“Yang empat orang ini kita bunuh, isi di karung, buang ke laut jadi
makanan ikan saja,” ujar Tabuni mengucapkan ungkapan anggota Bri-mob
saat interogasi di ruang penahanan.
Selain tujuh orang itu, kata Warpo, ada empat rekan mereka yang
mengalami pemukulan saat penangkapan. Ada dua orang di Sentani dan satu
orang wanita di lingkaran Abepura.
Wanita yang berhasil diwawancara jurnalis Jubi mengaku polisi menarik busana yang dikenakan hingga lepas.
“Pakaian yang saya pakai ini asli, lalu mereka tarik hingga tali Bra
putus. Bra saya berger dari posisinya sampai dada saya ini kelihatan.
Pokoknya dada saya ini telanjang. Mereka seret saya ke mobil sampai
lutut kanan saya dan siku tangan kakan saya luka,”ungkapnya sambil
menunjuk lukanya.
Kata dia, dirinya bersama rekan-rekan lain di bawa ke Mako Brimob
dalam keadaan telanjang dada. Polisi berusaha memberinya kostum untuk
menutup dadanya namun ditolak.
“Saya kasih tahu ke mereka. Saya ini lahir dari seorang mama yang
bertelanjang dada jadi saya bilang ke mereka lihat inilah saya. Saya
tidak pernah salah disini,” ujarnya mengulangi perkataannya kepada
polisi pada 2 Mei 2016.
Juru Bicara Kepolisian Daerah Papua, AKBP Patrige Renwarin yang
dikonfirmasi tentang tindakan polisi ini mengatakan tidak ada penyiksaan
yang dilakukan anggota polisi terhadap aktivis KNPB yang ditahan.
Polisi hanya mengamankan lalu membebaskan pada sore harinya.
“Trada penyiksaan,” ungkap Renwarin melalui pesan singkatnya kepada jurnalis Jubi, Rabu (4/5/2016) sore.
Kapolda Papua, Irjen Polisi Paulus Waterpauw yang hadir dalam
negosiasi pembebasan para tahanan dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Papua dan Pdt. Benny Giay di lapangan Mako Brimob membenarkan ada yang
mengalami luka saat penangkapan.
“Saya mendapat laporan tadi ada empat orang. Kalau ada yang lain
silakan lapor. Kalau tidak berani, melalui Komnas HAM, ada Pak Frist
Ramandey. Nanti kami fasilitasi,” ungkap Kapolda dalam sambutan sebelum
para demonstran dipulangkan pada 2 Mei 2016.
Kata dia, dirinya memberikan apresiasi kepada demonstran yang berusaha kooperatif walaupun ada yang mengalami luka-luka.
“Kami tidak ingin ada korban jiwa,” tegasnya.
Gustaf Kawer, pengacara Hak Asasi Manusia, mengatakan penangkapan,
penahanan dan penyiksaan ini mengulang pengalaman yang sama. Polisi
tidak pernah mau mengubah polanya supaya tidak mengulang kesalahan yang
sama. Kata dia, polisi mestinya membuka ruang bagi demonstran. Kalau
terus dibatasi, dibungkam dan disiksa ini akan menyuburkan idealisme.
“Ideologi, gerakan ini makin subur dan meluas,” ungkapnya di halaman Mako Brimob.
Kata dia, kalau sudah ada pengakuan penyiksaan, itu sudah melanggar konvenan internasional anti penyiksaan.
“Suruh buka baju, jemur di mata hari ini saja kena konvenan anti penyiksaan,” tegasnya.
Mereka yang mengaku disiksa dan dipukul adalah Warpo Wetipo (31),
Doli Ubruangge (27), Arim Tabuni (21), Matias Suu (21), Goty Gobay (23),
Kombawe Wanimbo (25), Elias Mujijau (19), Agust Pahabol (23), Izon
Kobak (23).
Tagged with
HUKUM & HAM,
KNPB
Beberapa anggota IPWP berfoto bersama usai menandatangani deklarasi Westminter – Jubi
Pertemuan International Parliamentarians for West Papua (IPWP) di
London, 3 Mei 2016 menghasilkan sebuah deklarasi yang dinamakan
Deklarasi Westminter.
Deklarasi Westminter ini ditandatangani oleh 95 anggota IPWP di
Gedung Parlemen London. Deklarasi ini mendesak dilakukannya Pengawasan
Internasional Penentuan Nasib Sendiri bagi bangsa Papua Barat.
Berikut isi Deklarasi Westminter
Kami anggota parlemen yang bertandatangan, yang menjadi anggota International Parliamentarians for West Papua (IPWP):
1. Menyatakan bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia terus terjadi di Papua Barat dan tidak bisa diterima.
2. Memperingatkan bahwa tanpa tindakan internasional rakyat Papua Barat beresiko mengalami kepunahan.
3.. Mengulangi hak rakyat Papua Barat untuk benar-benar menentukan nasib sendiri.
4. Menyatakan terjadi pelanggaran berat dalam prinsip-prinsip pelaksanaan ‘Act of Free Choice’ 1969
5. Mendesak pengawasan internasional dalam penentuan nasib sendiri sesuai dengan Resolusi Majelis Umum PBB 1514 dan 1541 (XV).
Para penandatangan deklarasi ini adalah :
- Benny Wenda (West Papua)
- Andrew Smith MP, Labour (UK)
- Lord Harries (UK)
- John Battle MP (UK)
- Caroline Lucas MP, Green Party (UK)
- Jeremy Corbyn MP, Labour (UK)
- David Amess MP, Conservative (UK)
- Ralph Regenvanu MP, Justice Minister (Vanuatu)
- Powes Parkop MP, Independent MP and Governor of Port Moresby (Papua New Guinea)
- Abel David MP, leader of current opposition party,’Shepherds Alliance’ (Vanuatu)
- Chief Reuben Ishmael VP, ‘Shepherds Alliance’ (Vanuatu)
- Moana Carcasses Kalosil, Prime Minister (Vanuatu)
- Lord Hylton (UK)
- Eva-Britt Svensson MEP (Sweden)
- Leke van den Burg MEP, Social Democrat (The Netherlands)
- Senator Bob Brown, Australian Greens (Australia)
- Senator Sarah Hanson-Young, Australian Greens (Australia)
- Dr Alan Whitehead MP, Labour (UK)
- Michael Foster MP, Labour (UK)
- Betty Williams MP, Labour (UK)
- Jeanette Fitzsimons, Green Party (New Zealand)
- Keith Locke, Green Party Leader (New Zealand)
- Catherine Delahunty MP, Green Party (New Zealand)
- Dr Russell Norman MP, Co-Leader Green Party (New Zealand)
- Keith Vaz MP, Labour (UK)
- Peter Bottomley MP, Conservative (UK)
- Bill Wiggin MP, Conservative (UK)
- Baroness Bottomley of Nettlestone Conservative (UK)
- Edward Vaizey MP, Conservative (UK)
- Lord Kilclooney, Ulster Unionist Party (UK)
- Lord Avebury, Lib Dem (UK)
- Baroness Northover, Lib Dem (UK)
- Patrick J. Kennedy, former ‘Member of Congress (USA)
- Ondrej Liska MP, Minister of Education (Czech Republic)
- Katerina Jacques MP (Czech Republic)
- Přemysl Rabas MP (Czech Republic)
- Maryan Street MP, Labour (New Zealand)
- Pascal Prince MP, Deputy of the Jurassian Parliament (Switzerland)
- Greg Barber MP, Australian Greens (Australia)
- Stephen Williams MP, Lib Dem (UK)
- Jamie Maxton-Graham MP (PNG)
- Boka Kondra MP (PNG)
- Jean Lambert MEP, Green Party (UK)
- Satu Hassi MEP, Green Party (Finland)
- Aileen Campbell MSP (Scotland)
- Jamie Hepburn MSP (Scotland)
- Bill Kidd MSP (Scotland)
- Linda Fabiani MSP (Scotland)
- The Rt Revd John Pritchard, The Bishop of Oxford (UK)
- Senator Richard Di Natale, Leader of Australian Greens (Australia)
- Christine Milne, Australian Greens (Australia)
- Cate Faehrmann, Green NSW MP (Australia)
- Diane Abbott MP, Labour (UK)
- David Martin MEP (UK)
- Senator Urko Aiartza (Basque Country)
- Gary Streeter MP, Conservative (UK)
- Eugenie Sage MP, Green (New Zealand)
- Denise Roche MP, Green (New Zealand)
- Clare Curran MP, Labour (New Zealand)
- Dr. Kennedy Graham MP, Green (New Zealand)
- Senator Clare Moore (Australia)
- Laurie Ferguson MP (Australia)
- Senator John Madigan (Australia)
- Lord Collins of Highbury (UK)
- Jane Prentice MP (Australia)
- Melissa Parke MP Australia)
- Senator Larissa Waters (Australia)
- Nick Brown MP, Labour (UK)
- Senator Bill Perkins, Democrat Party (USA)
- Toeolesulusulu Cedric Schuster (Samoa)
- Claude Moraes MEP (UK)
- Inaki Irazabalbeitia Fernandez MEP (The Basque Country)
- Steffan Browning MP (Green Party of Aotearoa New Zealand)
- Jean Urquhart MSP (Scotland)
- Marco Biagi MSP (Scotland)
- Danielle Auroi, Chairwoman of The European Affairs Committee (France)
- Alison Johnstone MSP (Scotland)
- Gary Juffa, Governor of Oro Province (PNG)
- Molly Scott Cato MEP (South West England and Gibraltar)
- Metiria Turei MP (Coleader Green Party, New Zealand)
- Mojo Mathers MP (Green Party, New Zealand)
- Derick Rawcliff Manu’ari MP (People First Party, Soloman Islands)
- Billy Gordon MP (Australia)
- Senator Lee Rhiannon (Australia)
- Rob Pyne MP (Australia)
- Andy Slaughter MP, Labour Party (UK)
- Christine Grahame MSP (Scotland)
- Senator Scott Ludlam Deputy Leader of Australian Greens (Australia)
- Anneliese Dodds MEP, Labour Party (UK)
- Stewart Maxwell MSP (Scotland)
- Neil Bibby MSP (Scotland)
- Jamie Parker MP, Australian Greens (Australia)
- Natalie McGarry MP, SNP (UK)
- Natalie Bennett, Leader of the Green Party of England and Wales (UK)
- Elizabeth May MP, Leader of the Green Party of Canada (Canada)
Tagged with
PAPUA MERDEKA,
PERNYATAAN
Sebuah langkah bersejarah di jalan untuk kebebasan West Papua
diambil di London hari ini. Pada pertemuan Parlemen internasional untuk
Papua Barat (IPWP) yang berlangsung di Gedung Parlemen Inggris, London,
sebuah deklarasi baru dibuat, yakni mendesak pengawasan internasional
bagi kemerdekaan West Papua.
Pertemuan itu dihadiri dan didukung
oleh Perdana Menteri Tonga, Samuela 'Akilisi Pohiva; Menteri Luar Negeri
Vanuatu, Bruno Leingkone; Utusan Khusus (Special Envoy) Solomon Islands
untuk West Papua di MSG, Rex Horoi; Menteri Pertanahan Vanuatu, Ralph
Regenvanu; Gubernur Provinsi Oro, PNG, Gary Jufa; Tuan Harries dari
Pentregarth, Kerajaan Inggris, house of lords, RT. Hon Jeremy Corbyn
MP, pemimpin oposisi Inggris yang juga pemimpin Partai Buruh di
Inggris; Benny Wenda, juru bicara internasional dari United Liberation
Movement for West Papua (ULWMP), Octovianus Mote, Sekjen ULMWP, dan
beberapa lainnya Parlemen Inggris.
Perdana Menteri Tonga
menyatakan negaranya dengan penuh mendukung perjuangan yang sedang
berlangsung di antara orang-orang Papua Barat. Dia menjelaskan bagaimana
itu adalah tanggung jawab dari PBB untuk memastikan hak asasi manusia
yang ada di West Papua dan dia akan terus mendorong untuk hal ini.
Jeremy Corbyn berbicara tentang sikapnya terhadap West Papua dan
perannya sebagai UN observer di Timor Leste. Dia berbicara kebutuhan
untuk keadilan dan hak asasi manusia untuk dibebaskan bagi West Papua
dan menyatakan bahwa dunia bisa terus mengalami konflik ini atau bisa
memilih untuk hidup di dunia yang damai dan keadilan yang akan datang
dari pengenalan manusia Hak untuk semua orang - sebuah landasan
kebijakan luar negeri. Ia mengulangi dukungan untuk perjuangan untuk
kebebasan West Papua dan bagaimana dia akan seperti ini yang akan
ditulis dalam kebijakan dari partai buruh Inggris.
Sebuah
pernyataan oleh Perdana Menteri Guyana, Musa Nagamootoo dibacakan oleh
Melinda Janki, Pengacara HAM Internasional. Perdana Menteri mengatakan
negaranya mendukung hak penentuan nasib sendiri bagi orang West Papua.
Sementara itu, Ralph Regenvanu mengatakan dukungan panjang Vanuatu
terhadap West Papua. Dia berbicara tentang bagaimana Perdana Menteri
Vanuatu yang pertama telah menyatakan bahwa 'vanuatu tidak akan
benar-benar merdeka selama negara-negara Melanesia yang lain belum
merdeka”. Dia berbicara tentang KOMITMEN OLEH NEGARA MELANESIA UNTUK
PAPUA BARAT KE MELANESIA SPEARHEAD GROUP (MSG) Dan Vanuatu bekerja untuk
West Papua agar mendapatkan keanggotaan penuh dari MSG di pertemuan
yang akan datang.
Rex Horoi, utusan khusus dari Kepulauan Solomon
menyampaikan hal-hal yang sedang dilakukan Solomon untuk mendukung West
Papua: Secara mendesak menghentikan pelanggaran HAM Di Papua Barat,
mengakui identitas politik dari ULMWP dan Interaksi yang strategis dari
Pemerintah Kepulauan Solomon dengan tetangga di Pasifik dan di seluruh
dunia. Dia juga mendefinisikan ulang pentingnya di pasifik dengan
mengubah nama " Negara-negara kepulauan kecil ' sebagai 'Serikat
Negara-Negara Samudera besar (Big Ocean states).
Gary Jufa juga
menyampaikan hubungan pribadi dirinya dengan orang Papua. Dia bilang
bagaimana ayahnya telah menjadi kapten perahu pertama dari pengungsi
dari West Papua dan bagaimana dia berjanji bahwa dia akan melakukan
segala yang dia bisa untuk berperang dengan mereka karena kebebasan. Dia
menjelaskan bahwa Pemerintah PNG masih mengakui kedaulatan Indonesia
(gerakan besar di png yang bermunculan dalam mendukung kebebasan papua
barat dan bahwa dia akan tetap menjadi salah satu suara politik utama
dari gerakan ini.
Lord Harries pertemuan mengenang Benny Wenda
ketika ia pertama kali datang ke Inggris pada 2003, bagaimana masalah
itu, hampir tidak dikenal pada saat ini dan yang jauh itu datang hari
ini dengan wakil-Wakil dari " negara lautan besar' untuk memenangkan
masalah West Papua. Dia terus membaca sebuah pernyataan dukungan oleh
Pendeta Uskup Agung Emeritus Desmond Tutu; " orang-orang tersayang dan
teman dari Papua Barat. Silakan terima, dari ujung selatan dari Afrika,
cinta dan berkat seorang pensiun sesame untuk keadilan. Hak Asasi
Manusia dan keadilan adalah nilai universal. Ini sudah sangat
menyedihkan untuk menyaksikan perkembangan gerakan untuk mengamankan
keadilan bagi masyarakat Papua Barat. Panggilan Anda untuk internasional
diawasi memilih untuk menentukan akan orang papua barat yang telah
mendukung saya. Tuhan memberkati anda."
Akhirnya Benny Wenda,
menggambarkan perasaan sekitar berada di sini sekarang setelah
perjalanan panjang, mengumumkan bahwa pendudukan Indonesia adalah ilegal
dan harus berakhir sekarang. Dia selesai dengan membaca deklarasi yang
ditandatangani oleh semua parlemen internasional yang hadir.
Sekretaris Jenderal ULMWP, Octovianus Mote berterima kasih kepada semua
termasuk berbagai generasi pejuang kemerdekaan untuk Papua diwakili di
sini.
Deklarasi yang berbunyi sebagai berikut:
WESTMINSTER DEKLARASI
UNTUK INTERNATIONAL SUPERVISED VOTE FOR WEST PAPUA
Kami yang bertanda tangan di bawa ini, anggota Parlemen, yang tergabung dalam Anggota Parlemen Internasional Untuk Papua Barat:
1. Menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang sedang berlangsung di West Papua tidak bisa diterima.
2. Peringatkan bahwa tanpa aksi internasional Orang West Papua sedang menuju pada resiko kepunahan.
3. Menyatakan kembali hak orang asli West Papua untuk mendentukan nasibnya sendiri.
4. Mendeklarasikan Aksi Pemilihan bebas (act of free choice) tahun 1969
sebagai tindakan kotor yang melanggar prinsip" act of free choice.
5. Memanggil sebuah pengawasan internasional terhadap suara West Papua
untuk menentukan nasib sendirisesuai dengan resolusi Majelis Umum PBB
1514 dan 1541 (XV).
Tagged with
PAPUA MERDEKA