DASAR DASAR PERJUANGAN KEMERDEKAAN PAPUA BARAT
Posted by Unknown on Minggu, 17 Mei 2015 | 0 komentar
Mengapa rakyat Papua Barat ingin merdeka di luar Indonesia?
Mengapa rakyat Papua Barat masih tetap meneruskan perjuangan mereka?
Kapan mereka mau berhenti berjuang?
Ada empat faktor yang mendasari keinginan rakyat Papua Barat untuk memiliki
negara sendiri yang merdeka dan berdaulat di luar penjajahan manapun, yaitu:
1. hak
2. budaya
3. latarbelakang sejarah
4. realitas sekarang
ad 1. Hak
Kemerdekaan adalah »hak« berdasarkan Deklarasi Universal
HAM (Universal Declaration on Human Rights) yang menjamin hak-hak
individu dan berdasarkan Konvenant Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik
yang menjamin hak-hak kolektif di dalam mana hak penentuan nasib sendiri
(the right to self-determination) ditetapkan.
»All peoples have the right of self-determination. By virtue
of that right they freely determine their political status and freely pursue
their economic, social and cultural development - Semua bangsa memiliki
hak penentuan nasib sendiri. Atas dasar mana mereka bebas menentukan status
politik mereka dan bebas melaksanakan pembangunan ekonomi dan budaya mereka«
(International Covenant on Civil and Political Rights, Article 1).
Nation is used in the meaning of People (Roethof 1951:2) and can be distinguished
from the concept State - Bangsa digunakan dalam arti Rakyat (Roethof
1951:2) dan dapat dibedakan dari konsep Negara (Riop Report No.1). Riop
menulis bahwa sebuah negara dapat mencakup beberapa bangsa, maksudnya kebangsaan
atau rakyat (A state can include several nations, meaning Nationalities
or Peoples).
Ada dua jenis the right to self-determination (hak penentuan
nasib sendiri), yaitu external right to self-determination dan internal
right to self-determination.
External right to self-determination yaitu hak penentuan nasib
sendiri untuk mendirikan negara baru di luar suatu negara yang telah ada.
Contoh: hak penentuan nasib sendiri untuk memiliki negara Papua Barat di
luar negara Indonesia. External right to self-determination, or rather
self-determination of nationalities, is the right of every nation to build
its own state or decide whether or not it will join another state, partly
or wholly (Roethof 1951:46) - Hak external penentuan nasib sendiri,
atau lebih baiknya penentuan nasib sendiri dari bangsa-bangsa, adalah hak
dari setiap bangsa untuk membentuk negara sendiri atau memutuskan apakah
bergabung atau tidak dengan negara lain, sebagian atau seluruhnya (Riop
Report No.1). Jadi, rakyat Papua Barat dapat juga memutuskan untuk berintegrasi
ke dalam negara tetangga Papua New Guinea. Perkembangan di Irlandia Utara
dan Irlandia menunjukkan gejala yang sama. Internal right to self-determination
yaitu hak penentuan nasib sendiri bagi sekelompok etnis atau bangsa untuk
memiliki daerah kekuasaan tertentu di dalam batas negara yang telah ada.
Suatu kelompok etnis atau suatu bangsa berhak menjalankan pemerintahan
sendiri, di dalam batas negara yang ada, berdasarkan agama, bahasa dan
budaya yang dimilikinya. Di Indonesia dikenal Daerah Istimewa Jogyakarta
dan Daerah Istimewa Aceh. Pemerintah daerah-daerah semacam ini biasanya
dilimpahi kekuasaan otonomi ataupun kekuasaan federal. Sayangnya, Jogyakarta
dan Aceh belum pernah menikmati otonomi yang adalah haknya.
ad 2. Budaya
Rakyat Papua Barat, per definisi, merupakan bagian dari rumpun bangsa
atau ras Melanesia yang berada di Pasifik, bukan ras Melayu di Asia. Rakyat
Papua Barat memiliki budaya Melanesia. Bangsa Melanesia mendiami kepulauan
Papua (Papua Barat dan Papua New Guinea), Bougainville, Solomons, Vanuatu,
Kanaky (Kaledonia Baru) dan Fiji. Timor dan Maluku, menurut antropologi,
juga merupakan bagian dari Melanesia. Sedangkan ras Melayu terdiri dari
Jawa, Sunda, Batak, Bali, Dayak, Makassar, Bugis, Menado, dan lain-lain.
Menggunakan istilah ras di sini sama sekali tidak bermaksud bahwa saya
menganjurkan rasisme. Juga, saya tidak bermaksud menganjurkan nasionalisme
superior ala Adolf Hitler (diktator Jerman pada Perang Dunia II). Adolf
Hitler menganggap bahwa ras Aria (bangsa Germanika) merupakan manusia super
yang lebih tinggi derajat dan kemampuan berpikirnya daripada manusia asal
ras lain. Rakyat Papua Barat sebagai bagian dari bangsa Melanesia merujuk
pada pandangan Roethof sebagaimana terdapat pada ad 1 di atas.
ad 3. Latarbelakang Sejarah
Kecuali Indonesia dan Papua Barat sama-sama merupakan bagian penjajahan
Belanda, kedua bangsa ini sungguh tidak memiliki garis paralel maupun hubungan
politik sepanjang perkembangan sejarah. Analisanya adalah sebagai
berikut:
Pertama: Sebelum adanya penjajahan asing, setiap suku, yang
telah mendiami Papua Barat sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin
oleh kepala-kepala suku (tribal leaders). Untuk beberapa daerah, setiap
kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya
kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan
pemerintahan tradisional di beberapa daerah, di mana, sebagai contoh, seorang
Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi
masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbai. Dari dalam tingkat
pemerintahan tradisional di Papua Barat tidak terdapat garis politik vertikal
dengan kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia ketika itu.
Kedua: Rakyat Papua Barat memiliki sejarah yang berbeda dengan
Indonesia dalam menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Misalnya, gerakan
Koreri di Biak dan sekitarnya, yang pada awal tahun 1940-an aktif menentang
kekuasaan Jepang dan Belanda, tidak memiliki garis komando dengan gerakan
kemerdekaan di Indonesia ketika itu. Gerakan Koreri, di bawah pimpinan
Stefanus Simopiaref dan Angganita Menufandu, lahir berdasarkan kesadaran
pribadi bangsa Melanesia untuk memerdekakan diri di luar penjajahan asing.
Ketiga: Lamanya penjajahan Belanda di Indonesia tidak sama dengan
lamanya penjajahan Belanda di Papua Barat. Indonesia dijajah oleh Belanda
selama sekitar 350 tahun dan berakhir ketika Belanda mengakui kemerdekaan
Indonesia pada 27 Desember 1949. Papua Barat, secara politik praktis, dijajah
oleh Belanda selama 64 tahun (1898-1962).
Keempat: Batas negara Indonesia menurut proklamasi kemerdekaan
Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah dari »Aceh sampai Ambon«,
bukan dari »Sabang sampai Merauke«. Mohammed Hatta (almarhum),
wakil presiden pertama RI dan lain-lainnya justru menentang dimasukkannya
Papua Barat ke dalam Indonesia (lihat Karkara lampiran I, pokok Hindia
Belanda oleh Ottis Simopiaref).
Kelima: Pada Konferensi Meja Bundar (24 Agustus - 2 November
1949) di kota Den Haag (Belanda) telah dimufakati bersama oleh pemerintah
Belanda dan Indonesia bahwa Papua Barat tidak merupakan bagian dari negara
Republik Indonesia Serikat (RIS). Status Nieuw-Guinea akan ditetapkan oleh
kedua pihak setahun kemudian. (Lihat lampiran II pada Karkara oleh Ottis
Simopiaref).
Keenam: Papua Barat pernah mengalami proses dekolonisasi di
bawah pemerintahan Belanda. Papua Barat telah memiliki bendera national
»Kejora«, »Hai Tanahku Papua« sebagai lagu kebangsaan
dan nama negara »Papua Barat«. Simbol-simbol kenegaraan ini
ditetapkan oleh New Guinea Raad / NGR (Dewan New Guinea). NGR didirikan
pada tanggal 5 April 1961 secara demokratis oleh rakyat Papua Barat bekerjasama
dengan pemerintah Belanda. Nama negara, lagu kebangsaan serta bendera telah
diakui oleh seluruh rakyat Papua Barat dan pemerintah Belanda.
Ketujuh: Dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963, Papua Barat
merupakan daerah perwalian PBB di bawah United Nations Temporary Executive
Authority (UNTEA) dan dari tahun 1963 hingga 1969, Papua Barat merupakan
daerah perselisihan internasional (international dispute region). Kedua
aspek ini menggaris-bawahi sejarah Papua Barat di dunia politik internasional
dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan perkembangan sejarah Indonesia
bahwa kedua bangsa ini tidak saling memiliki hubungan sejarah.
Kedelapan: Pernah diadakan plebisit (Pepera) pada tahun 1969
di Papua Barat yang hasilnya diperdebatkan di dalam Majelis Umum PBB. Beberapa
negara anggota PBB tidak setuju dengan hasil Pepera (Penentuan Pendapat
Rakyat) karena hanya merupakan hasil rekayasa pemerintah Indonesia. Adanya
masalah Papua Barat di atas agenda Majelis Umum PBB menggaris-bawahi nilai
sejarah Papua Barat di dunia politik internasional. Ketidaksetujuan beberapa
anggota PBB dan kesalahan PBB dalam menerima hasil Pepera merupakan motivasi
untuk menuntut agar PBB kembali memperbaiki sejarah yang salah. Kesalahan
itu sungguh melanggar prinsip-prinsip PBB sendiri. (Silahkan lihat lebih
lanjut pokok tentang Pepera dalam Karkara oleh Ottis Simopiaref).
Kesembilan: Rakyat Papua Barat, melalui pemimpin-pemimpin mereka,
sejak awal telah menyampaikan berbagai pernyataan politik untuk menolak
menjadi bagian dari RI. Frans Kaisiepo (almarhum), bekas gubernur Irian
Barat, pada konferensi Malino 1946 di Sulawesi Selatan, menyatakan dengan
jelas bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan sebuah negara RI (Plunder
in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Johan Ariks (alm.),
tokoh populer rakyat Papua Barat pada tahun 1960-an, menyampaikan secara
tegas perlawanannya terhadap masuknya Papua Barat ke dalam Indonesia (Plunder
in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Angganita Menufandu
(alm.) dan Stefanus Simopiaref (alm.) dari Gerakan Koreri, Raja Ati Ati
(alm.) dari Fakfak, L.R. Jakadewa (alm.) dari DVP-Demokratische Volkspartij,
Lodewijk Mandatjan (alm.) dan Obeth Manupapami (alm.) dari PONG-Persatuan
Orang Nieuw-Guinea, Barend Mandatjan (alm.), Ferry Awom (alm.) dari Batalyon
Papua, Permenas Awom (alm.), Jufuway (alm.), Arnold Ap (alm.), Eliezer
Bonay (alm.), Adolf Menase Suwae (alm.), Dr. Thomas Wainggai (alm.), Nicolaas
Jouwe, Markus Wonggor Kaisiepo dan lain-lainnya dengan cara masing-masing,
pada saat yang berbeda dan kadang-kadang di tempat yang berbeda memprotes
adanya penjajahan asing di Papua Barat.
ad 4. Realitas Sekarang
Rakyat Papua Barat menyadari dirinya sendiri sebagai bangsa yang terjajah
sejak adanya kekuasaan asing di Papua Barat. Kesadaran tersebut tetap menjadi
kuat dari waktu ke waktu bahwa rakyat Papua Barat memiliki identitas tersendiri
yang berbeda dengan bangsa lain. Di samping itu, penyandaran diri setiap
kali pada identitas pribadi yang adalah dasar perjuangan, merupakan akibat
dari kekejaman praktek-praktek kolonialisme Indonesia. Perlawanan menjadi
semakin keras sebagai akibat dari (1) penindasan yang brutal, (2) adanya
ruang-gerak yang semakin luas di mana seseorang dapat mengemukakan pendapat
secara bebas dan (3) membanjirnya informasi yang masuk tentang sejarah
Papua Barat. Rakyat Papua Barat semakin mengetahui dan mengenal sejarah
mereka. Kesadaran merupakan basis untuk mentransformasikan realitas, sebagaimana
almarhum Paulo Freire (profesor Brasilia dalam ilmu pendidikan) menulis.
Semangat juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.
Pada tahun 1984 terjadi exodus besar-besaran ke negara tetangga Papua
New Guinea dan empat pemuda Papua yaitu Jopie Roemajauw, Ottis Simopiaref,
Loth Sarakan (alm.) dan John Rumbiak (alm.) memasuki kedutaan besar Belanda
di Jakarta untuk meminta suaka politik. Permintaan suaka politik ke kedubes
Belanda merupakan yang pertama di dalam sejarah Papua Barat. Gerakan yang
dimotori Kelompok Musik-Tari Tradisional, Mambesak (bahasa Biak untuk Cendrawasih)
di bawah pimpinan Arnold Ap (alm.) merupakan manifestasi politik anti penjajahan
yang dikategorikan terbesar sejak tahun 1969. Kebanyakan anggota Mambesak
mengungsi dan berdomisili di Papua New Guinea sedangkan sebagian kecil
masih berada dan aktif di Papua Barat.
Dr. Thomas Wainggai (alm.) memimpin aksi damai besar pada tanggal 14
Desember 1988 dengan memproklamirkan kemerdekaan negara Melanesia Barat
(Papua Barat). Setahun kemudian pada tanggal yang sama diadakan lagi aksi
damai di Numbai (nama pribumi untuk Jayapura) untuk memperingati 14 Desember.
Dr. Thom Wainggai dijatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun, namun beliau
kemudian meninggal secara misterius di penjara Cipinang. Papua Barat dilanda
berbagai protes besar-besaran selama tahun 1996. Tembagapura bergelora
bagaikan air mendidih selama tiga hari (11-13 Maret). Numbai terbakar tanggal
18 Maret menyusul tibanya mayat Thom Wainggai. Nabire dijungkir-balik selama
2 hari (2-3 Juli). Salah satu dari aksi damai terbesar terjadi awal Juli
1998 di Biak, Numbai, Sorong dan Wamena, kemudian di Manokwari. Salah satu
pemimpin dari gerakan bulan Juli 1998 adalah Drs. Phillip Karma. Drs. P.
Karma bersama beberapa temannya sedang ditahan di penjara Samofa, Biak
sambil menjalani proses pengadilan. Gerakan Juli 1998 merupakan yang terbesar
karena mencakup daerah luas yang serentak bergerak dan memiliki jumlah
massa yang besar. Gerakan Juli 1998 terorganisir dengan baik dibanding
gerakan-gerakan sebelumnya. Di samping itu, Gerakan Juli 1998 dapat menarik
perhatian dunia melalui media massa sehingga beberapa kedutaan asing di
Jakarta menyampaikan peringatan kepada ABRI agar menghentikan kebrutalan
mereka di Papua Barat. Berkat Gerakan Juli 1998 Papua Barat telah menjadi
issue yang populer di Indonesia dewasa ini. Di samping sukses yang telah
dicapai terdapat duka yang paling dalam bahwa menurut laporan dari PGI
(Persekutuan Gereja Indonesia) lebih dari 140 orang dinyatakan hilang dan
kebanyakan mayat mereka telah ditemukan terdampar di Biak. Menurut laporan
tersebut, banyak wanita yang diperkosa sebelum mereka ditembak mati. Realitas
penuh dengan represi, darah, pemerkosaan, penganiayaan dan pembunuhan,
namun perjuangan tetap akan dilanjutkan. Rakyat Papua Barat menyadari dan
mengenali realitas mereka sendiri. Mereka telah mencicipi betapa pahitnya
realitias itu. Mereka hidup di dalam dan dengan suatu dunia yang penuh
dengan ketidakadilan, namun kata-kata Martin Luther King masih disenandungkan
di mana-mana bahwa »We shall overcome someday!«
(Kita akan menang suatu ketika!).
Masa depan: Tidak diikut-sertakannya rakyat Papua Barat sebagai subjek
masalah di dalam Konferensi Meja Bundar, New York Agreement yang
mendasari Act of Free Choice, Roma Agreement dan lain-lainnya merupakan
pelecehan hak penentuan nasib sendiri yang dilakukan oleh pemerintah (state
violence) dalam hal ini pemerintah Indonesia dan Belanda. (Untuk Roma
Agreement, silahkan melihat lampiran pada Karkara oleh Ottis Simopiaref).
Rakyat Papua Barat tidak diberi kesempatan untuk memilih secara demokratis
di dalam Pepera. Act of Free Choice disulap artinya oleh pemerintah
Indonesia menjadi Pepera. Di sini terjadi manipulasi pengertian dari Act
of Free Choice (Ketentuan Bebas Bersuara) menjadi Penentuan Pendapat
Rakyat (Pepera). Ortiz Sans sebagai utusan PBB yang mengamati jalannya
Pepera melaporkan bahwa rakyat Papua Barat tidak diberikan kebebasan untuk
memilih. Ketidakseriusan PBB untuk menerima laporan Ortiz Sans merupakan
pelecehan hak penentuan nasib sendiri. PBB justru melakukan pelecehan HAM
melawan prinsip-prinsipnya sendiri. Ini merupakan motivasi di mana rakyat
Papua Barat akan tetap berjuang menuntut pemerintah Indonesia, Belanda
dan PBB agar kembali memperbaiki kesalahan mereka di masa lalu. Sejak pencaplokan
pada 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia selalu berpropaganda bahwa yang pro
kemerdekaan Papua Barat hanya segelintir orang yang sedang bergerilya di
hutan. Tapi, Gerakan Juli 1998 membuktikan yang lain di mana dunia telah
menyadari bahwa jika diadakan suatu referendum bebas dan adil maka rakyat
Papua Barat akan memilih untuk merdeka di luar Indonesia. Rakyat Indonesia
pun semakin menyadari hal ini.
Menurut catatan sementara, diperkirakan bahwa sekitar 400 ribu orang
Papua telah meninggal sebagai akibat dari dua hal yaitu kebrutalan ABRI
dan kelalaian politik pemerintah. Sadar atau tidak, pemerintah Indonesia
telah membuat sejarah hitam yang sama dengan sejarah Jepang, Jerman, Amerikat
Serikat, Yugoslavia dan Rwanda. Jepang kemudian memohon maaf atas kebrutalannya
menduduki beberapa daerah di Asia-Pasifik pada tahun 1940-an. Sentimen
anti Jerman masih terasa di berbagai negara Eropa Barat. Ini membuat para
pemimpin dan orang-orang Jerman menjadi kaku jika mengunjungi negara-negara
yang pernah didukinya, apalagi ke Israel. Berbagai media di dunia pada
4 Desember 1998 memberitakan penyampaian maaf untuk pertama kali oleh Amerika
Serikat (AS) melalui menteri luarnegerinya, Madeleine Albright. "Amerika
Serikat menyesalkan »kesalahan-kesalahan yang amat sangat«
yang dilakukannya di Amerika Latin selama perang dingin", kata Albright.
AS ketika itu mendukung para diktator bersama kekuatan kanan yang berkuasa
di Amerika Latin di mana terjadi pembantaian terhadap berjuta-juta orang
kiri. Semoga Indonesia akan bersedia untuk merubah sejarah hitam yang ditulisnya
dengan memohon maaf kepada rakyat Papua Barat di kemudian hari. Satu per
satu para penjahat perang di bekas Yugoslavia telah diseret ke Tribunal
Yugoslavia di kota Den Haag, Belanda. Agusto Pinochet, bekas diktator di
Chili, sedang diperiksa di Inggris untuk diekstradisikan ke Spanyol. Dia
akan diadili atas terbunuhnya beribu-ribu orang selama dia berkuasa di
Chili. Suatu usaha sedang dilakukan untuk mendokumentasikan identitas dan
kebrutalan para pemimpin ABRI di Papua Barat. Dokumentasi tersebut akan
digunakan di kemudian hari untuk menyeret para pemimpin ABRI ke tribunal
di Den Haag. Akhir tahun ini (1998) dunia membuka mata terhadap beberapa
daerah bersengketa (dispute regions), yaitu Irlandia Utara, Palestina dan
Polisario (Sahara Barat). Kedua pemimpin di Irlandia Utara yang masih dijajah
Inggris menerima Hadiah Perdamaian Nobel (Desember 1998). Bill Clinton,
presiden Amerikat, yang mengunjungi Palestina, tanggal 14 Desember 1998,
mendengar pidato dari Yaser Arafat bahwa daerah-daerah yang diduki di Palestina
harus ditinggalkan oleh Israel. Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, yang
mengadakan tour di Afrika Utara mampir di Aljasaria untuk mencoba menengahi
konflik antara Front Polisario dan Maroko. Front Polisario dengan dukungan
Aljasaria masih berperang melawan Maroko yang menduduki Polisario (International
Herald Tribune, Nov. 30, 1998). Mengapa ada konflik di Irlandia Utara,
Palestina dan Polisario? Karena rakyat-rakyat di sana menuntut hak mereka
dan memiliki budaya serta latar-belakang sejarah yang berbeda dari penjajah
yang menduduki negeri mereka. Realitas sekarang menunjukkan bahwa rakyat-rakyat
di sana masih tetap berjuang untuk membebaskan diri dari penjajahan. Realitas
sekarang di Papua Barat membuktikan adanya perlawanan rakyat menentang
penjajahan Indonesia. Ini merupakan manifestasi dari makna faktor-faktor
budaya, latar-belakang sejarah yang berbeda dari Indonesia dan terlebih
hak sebagai dasar hukum di mana rakyat Papua Barat berhak untuk merdeka
di luar Indonesia.
Sejarah Papua Barat telah menjadi kuat, sarat, semakin terbuka dan kadang-kadang
meledak. Perjuangan kemerdekaan Papua Barat tidak pernah akan berhenti
atau dihentikan oleh kekuatan apapun kecuali ketiga faktor (hak, budaya
dan latarbelakang sejarah) tersebut di atas dihapuskan keseluruhannya dari
kehidupan manusia bermartabat. Rakyat Papua Barat akan meneruskan perjuangannya
untuk menjadi negara tetangga yang baik dengan Indonesia. Rakyat Papua
Barat akan meneruskan perjuangannya untuk menjadi bagian yang setara dengan
masyarakat internasional. Perjuangan akan dilanjutkan hingga perdamaian
di Papua Barat tercapai. Anak-anak, yang orang-tuanya dan kakak-kakaknya
telah menjadi korban kebrutalan ABRI tidak akan hidup damai selama Papua
Barat masih merupakan daerah jajahan. Mereka akan meneruskan perjuangan
kemerdekaan Papua Barat. Mereka akan meneriakkan pekikan Martin Luther
King, pejuang penghapusan perbedaan warna kulit di Amerka Serikat, "Lemparkan
kami ke penjara, kami akan tetap menghasihi. Lemparkan bom ke rumah kami,
dan ancamlah anak-anak kami, kami tetap mengasihi". Rakyat Papua Barat
mempunyai sebuah mimpi yang sama dengan mimpinya Martin Luther King, bahwa
»kita akan menang suatu ketika«.
0 komentar for "DASAR DASAR PERJUANGAN KEMERDEKAAN PAPUA BARAT"
Leave a reply