Sikap Indonesia Tidak Menentu Selesaikan Seluruh Masalah Papua

Posted by Unknown on Senin, 01 Juni 2015 | 0 komentar



"... terutama sekali masalah sejarah dan status politik Papua Barat, kecuali ada tekanan yang luar biasa dari dalam dan dari luar atau perlu ada tangan tersembunyi yang meluluhlantakkan keputusan politik Indonesia untuk Papua."

"Watikey" adalah istilah yang dikembangkan oleh salah satu anak saya, (anak ini masih berumur 4 tahun) untuk menjelaskan maksudnya. Saya secara tidak sengaja selama lebih dari dua hari bertanya apa arti dari watikey. Pada hari pertama ia menjelaskan bahwa watikey artinya berdiri, selang beberapa jam kemudian, saya bertanya lagi apa arti dari watikey, dia menjawab watikey artinya jalankan mobil. Beberapa jam kemudian, saya bertanya ulang untuk ketiga kalinya apa arti watikey, dia menjawab watikey artinya diam. Hari kedua, pagi hari dia sedang bermain pasir lalu, saya bertanya apa artinya watikey. Watikey artinya angkat pasir. Selang beberapa menit kemudian, saya bertanya lagi apa artinya watikey, dia kembali menjawab artinya jangan buang pasir.

Saya membiarkan hal itu dan menganggapnya hal biasa saja. Namun dengan perkembangan situasi sosial politik di Papua dan memaknai istilah yang dipakai anak saya dengan konteks situasi saat ini, saya mulai merenung bahwa Indonesia sebenarnya tidak berniat menyelesaikan isu-isu yang sensitif bagi orang Papua terutama dua isu di atas (status politik dan sejarah Papua). Satu isu krusial lainnya adalah situasi HAM di Papua.

Kita mengetahui bahwa LIPI dalam buku Papua Road Map telah mengelompokkan empat isu kursial yaitu sejarah dan status politik Papua, pelanggaran HAM, kegagalan pembangunan dan marginalisasi orang asli Papua. Empat permasalahan di atas juga LIPI mengusulkan cara penyelesaiannya. Salah satunya adalah penyelesaian status politik Papua dan sejarah melalui dialog damai.

Pemerintahan SBY diharapkan dapat menyelesaikan persoalan Papua, tetapi tidak pernah terjadi. Dalam masa ini patut kita hargai bahwa kata "dialog" yang tadinya menjadi tabu dalam benak pikiran pemerintah, telah menjadi kata terdepan dalam 5 tahun pemerintahan kedua SBY, meskipun dialog yang diharapkan orang asli Papua tak pernah kunjung hadir. Namun ini menjadi catatan torehan sejarah penting bagi proses panjang menuju penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh.

Kalau feedback ke belakang bahwa orang Papua telah mengembalikan identitas ke-Papuaan/Melanesia mereka dengan dirubahnya nama Irian Jaya menjadi Papua di masa pemerintahan Gus Dur. Bergeser ke pemerintahan Megawati, rakyat Papua juga secara politik telah diberikan status Otonomi Khusus Papua. Namun implementasinya tidak berjalan baik menurut orang asli Papua dan juga banyak penelitian telah membuktikan kegagalan Otsus Papua.  

Dari tiga hal di atas, ada kemajuan perjuangan rakyat Papua menekan Jakarta, usaha orang Papua ini tidak hadir bagaikan sinterklas tetapi perjuangan yang penuh dengan darah, air mata, kematian, pemenjarahan, penyiksaan, dsb. Namun dari tiga itu yang benar-benar dirasakan orang Papua adalah perubahan nama Papua. Dialog dan Otsus ibarat janji seorang ayah kepada anaknya agar jangan dia terus menangis atas sebuah tuntutan yang belum bisa dipenuhi seorang ayah. Rakyat Papua masih menanti mimpi mereka akan dialog yang bermartabat. Dihubungkan dengan kata watikey dengan berbagai makna yang diungkap oleh anak saya dikaitkan dengan sikap pemerintah, mungkin ada benarnya.

Karena kata dialog yang diinginkan orang Papua, yang dimaknai Jakarta selalu berbeda. Misalkan pernyataan Jokowi saat blusukannya ke Jayapura mengatakan saya sudah berdialog dengan orang Papua, dialog dengan tokoh adat, tokoh gereja, tokoh masyarakat, pemerintah itu sudah dialog, jadi dialog apa lagi. Dialog politik tertutup bagi Papua, dialog pembangunan terbuka bagi Papua.

Implementasi Otsus yang dimaknai orang Papua, berbeda dengan implementasi Otsus yang dimaknai Jakarta. Jakarta menilai kucurkan dana trilyunan rupiah ke Papua itu sudah dianggap implementasi Otsus, sementara orang Papua menginginkan kewenangan yang lebih luas dalam mengelolah Otsus. Misalnya PP 77 tentang bendera dan lambang daerah Papua dilarang oleh pemerintah.

Tidak ada batasan yang jelas tentang migran yang masuk di Papua. Tidak ada pelayanan kesehatan yang memadai di Papua, HIV/AIDS meningkat secara tajam di Papua. Laporan terakhir di Wamena 5.000 orang positif terinveksi HIV/AIDS. Pertanyaannya apa yang dilakukan Dinas Kesehatan dalam memberantas penyakit yang ditakuti manusia ini. Ini adalah bagian terkecil dari masalah Papua yang sangat kompleks terutama isu politik dan sejarahnya dan pelanggaran HAM masa lalu dan masih berlangsung hingga dewasa ini yang tak kunjung berubah atau berhenti. Tingkah aparat dari waktu ke waktu terus meningkatkan eskalasi kekerasan.

Joko Widodo tanpa diduga menyatakan bahwa wartawan asing boleh masuk ke Papua. Namun 'presiden (presiden kecil) yang lain' menolaknya.

Banyak kontroversial yang ditanggapi pemerintahan yang ada dibawahnya terutama aparat keamanan yang ada di Papua dan yang ada di Jakarta. Namun pernyataan Jokowi ini menjadi penting, sebelumnya Gubernur Papua Lukas Enembe beberapa tahun lalu menyatakan bahwa wartawan asing boleh masuk di Papua. Pernyataan ini sebenarnya bukan tupoksinya, tetapi melihat realitas sosial politik yang terjadi di Papua, Gubernur mengambil resiko ditegur pemerintah pusat, dia menyatakannya. Waktu itu tidak banyak yang tanggapi Enembe, tetapi pernyataan Jokowi ditanggapi beragam.

Jika dianalisis, kran air perjuangan rakyat Papua yang selama ini tertutup rapat semakin hari, mulai tebuka. Namun kran yang dibuka oleh pemerintah ini harganya sangat mahal yaitu darah dan air mata rakyat Papua. Satu perubahan politik yang terjadi terhadap rakyat Papua dari Jakarta, dibayar mahal oleh rakyat Papua.

Kalau begini caranya, maka sebenarnya di Papua ini bukan terjadi pembangunan manusia Papua tetapi penjajahan terhadap rakyat Papua. Seperti istilah watikey dari anak saya. Kata watikey tetap dipertahankan tetapi maknanya yang berubah-rubah. Indonesia menyatakan mereka membangun rakyat Papua, tetapi cara menghancurkan orang Papua polanya berganti-ganti. Pemerintah melakukan tindakan apapun di Papua sesuai dengan apa yang dia mau. Dan rakyat Papua menahan penderitaan itu dengan sangat, dimana mereka harus mempertaruhkan darah dan air mata mereka.

Saat ini merujuk pada dua isu utama yang penting bagi orang Papua. Isu jurnalis asing masuk ke Papua karena Jokowi dalam kapasitasnya sebagai presiden telah mempersilahkannya. Walaupun mereka harus masuk melalui clearing house di kementrian luar negeri, mungkin ini menjadi penting bagi para penggiat HAM untuk memantaunya, seberapa jauh dan berapa banyak wartawan asing yang dijinkan masuk setelah pernyataan itu dikeluarkan.

Isu kedua adalah aplikasi ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) ke MSG. Upaya ini menjadi penting bagi proses penyelesaian masalah Papua, namun pejuang Papua merdeka juga harus bekerja keras karena loby dan diplomacy Indonesia di Negara-negara anggota MSG sangat kuat. Hal itu di lihat dari kunjungan Menlu Indonesia ke Negara-negara anggota MSG dan kunjungan presiden RI ke Port Moresby pasca kunjungannya di Papua. Lobby intentensive mereka itu menjadi ancaman serius bagi upaya yang dibangun pejuang Papua.

Namun anggota parlement dan pemerintah di Negara anggota MSG juga di satu sisi berada dalam ancaman ketidakpercayaan konstituen mereka di masyarakat Negara anggota Melanesia sebab isu Papua saat ini menjadi isu yang menentukkan posisi mereka di parlemen dan pemerintah. Karena rakyat di wilayah ini telah melihat penderitaan saudara mereka di West Papua. Jadi kalau parlemen dan pemerintah tidak mendukung Papua masuk anggota MSG, maka tinggal menunggu waktu anggota parlemen dan pemerintahan berkuasa siap digulingkan oleh kekuatan rakyat. Setidaknya, apa yang dialami Gardon Lilo, mantan perdana menteri SI (Salomon Island) menjadi catatan penting bagi pemerintah dan anggota parlemen lainnya di Negara-negara anggota MSG.

Jika Pemerintah Indonesia terus bersikap seperti ini, maka pemerintah sebenarnya tidak belajar masa lalu sejarah Indonesia dengan penjajahan yang dilakukan Belanda. Belanda tidak mungkin akan meninggalkan Indonesia dan Papua kalau pada waktu itu tidak ada tekanan Internasional. Belanda harus mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949 dan harus meninggalkan Papua pada tahun 1963. Mengapa karena tekanan dunia Internasional dan perjuangan rakyat Indonesia sendiri. Ada tangan kuat, kekuatan masyarakat Internasional memberikan kebebasan penuh kepada Indonesia untuk bebas dari jajahan Belanda dan memegang kendali Papua atas dukungan masyarakat Internasional. Demikian juga kemungkinan yang akan terjadi di Papua.

Sepertinya sejarah harus mengulang dan mengingatkan pemerintah Indonesia. Pemerintah dipaksa mengakui kedaulatan Papua karena faktor kesalahan sejarah, atau Indonesia ingin berdiri dan diakui sebagai Negara Demokrasi terbesar ketiga di dunia dan mengakui eksistensi orang Papua sebagai sebuah bangsa. Suka atau tidak suka, pasti bahwa hal itu akan terjadi, dunia ini telah memberikan pelajaran sejarah yang terlalu banyak, hanya orang tidak mau belajar dari sejarah dan ingin membuat kesalahan yang sama atau ingin membuat sesuatu yang baru dikenang oleh sejarah. Tergantung keputusan politik pemerintah Indonesia hari ini untuk Papua.

Pemerintah jangan lupa bahwa perjuangan rakyat Papua saat ini, bukan lagi perjuangan ex-Belanda, atau angkatan 50-an dan 60-an. Tetapi perjuangan rakyat Papua hari ini dilakukan oleh anak muda yang lahir pada masa pemerintahan Indonesia. Itu artinya generasi yang lahir sekitar tahun 1970-an, 1980-an dan 1990-an. Mereka ini tidak pernah merasakan keberadaan Belanda di Papua dan perjuangan Indonesia menuju kemerdekaan.

Tetapi mereka ini merasa bahwa ada sesuatu yang tidak benar yang terjadi di tanah Papua, di tanah leluhur mereka. Mereka mendorong isu Referendum. Dan jangan lupa suara mereka diikuti masyarakat internasional.

Artinya nasionalisme yang dibangun Indonesia untuk menjadikan orang Papua sebagai orang Indonesia dalam kurun waktu 50 tahun lebih tidak berhasil di Papua. Bagaimana meng-Indonesia-kan orang Papua ini menjadi sulit sekarang, karena tidak dikelola secara baik sejak 1963 hingga sekarang. Menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia, namun menjadi spirit bagi orang Papua Melanesia untuk berjuang. Ibarat satu mata uang gambar di satu sisi dan nominal di lain sisi yang terlihat menyatu tapi beda, walau mereka berada dalam satu nama koin.

0 komentar for "Sikap Indonesia Tidak Menentu Selesaikan Seluruh Masalah Papua"

Leave a reply

Subscription

You can subscribe by e-mail to receive news updates and breaking stories.

Most Popular

Archives

Recent News