UU Desa: Kapitalisasi Desa
Posted by Unknown on Senin, 01 Juni 2015 | 0 komentar
Kapitalisasi
Desa atau kampung adalah ketika peredaran uang tidak terkontrol di tingkat Desa.
Kapitalisasi desa juga ketika masyarakat Desa menilai segala sesutu dengan uang.
Uang memang dibutuhkan oleh setiap orang secara individu maupun kelompok serta
lembaga untuk menunjang kebutuhan dan kepentingannya, namun kadang uang
dianggap segala-gala sehingga semua kegiatan dan usaha selalu diarahkan untuk
mendapatkan uang tersebut tanpa memperhatikan kausalitas yang terjadi dalam
kehidupan sosial. Upaya yang diarahkan untuk mendapatkan uang tidak perna
memperhatikan antara haram dan halal serta penggunaannya sehingga yang terlintas
diotaknya adalah “yang penting saya dapat uang.”
Disanalah
awal retaknya budaya kerja, solidaritas, saling membantu, menghargai dan saling
menghormati. Singkat kata uang menjadi
suatu sumber konflik bagi kehidupan masyarakat diaras lokal (kampung).
Uang membuat masyarakat semakin individualistis sehingga yang terjadi adalah
segala-galanya untuk uang. Uang membuat orang melakukan apa saja demi
mendapatkan segala sesuatu yang pada akhirnya akan membawah dampak buruk bagi
kehidupan sosial.
Jika
kita menilik Undang-undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus yang
berjalan selama 13 tahun terakhir, tampak adanya ketidakjelasan makna substansi
bahkan UU Otsus ini menjadi sumber persoalan dalam kehidupan masyarakat Papua.
Peredaran uang otsus, respek, UP4B dan lain-lain yang tidak terkontrol membuat
masyarakat semakin tergantung kepada pemerintah hingga berakibat pada hilangnya
budaya kerja. Belum lagi jika kita mengacu kepada UU No. 6 Tahun 2014 Tentang
Desa dimana sesuai dengan isi UU tersebut, Desa akan mendapatkan sejumlah dana dari pendapatan asli desa, bagi
hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota, bagian dari dana
perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/kota,
alokasi anggaran dari APBN dan beberapa sumber pendapatan lainnya. Apa untungnya
bagi masyarakat Papua dengan dana tersebut?
Bagi
masyarakat Papua, Undang-Undang maupun produk hukum lainnya bukanlah sesuatu
yang baru karena sebagian besar substansi dari Undang-Undang tersebut kadang
bertentangan dengan tatanan hidup masyarakat Papua. Masyarakat Papua menjadi objek
yang dikorbankan melalui Undang-undang dan kebijakan serta program apapun yang
dibuat oleh negara. Memang bila ditinjauh dari materi pokoknya, segala bentuk
Undang-undang maupun produk hukum lainnya baik adanya. Sayangnya para pembuat
kebijakan melegitimasi UU tersebut berdasarkan satu perspektif kehidupan
masyarakat yang jelas bertentangan dengan konteks kehidupan masyarakat di
wilayah lain. Hal ini terjadi akibat pembangunan yang tidak merata diseluruh
Indonesia. Sehingga pada tahap inplementasinya membawah dampak negatif dalam
kehidupan sosial.
Pada
penjelasan teknis, negara memberikan kucuran dana ratusan bahkan miliaran
rupiah kepada masyarakat untuk memperbaiki taraf hidup disemua lini kehidupan.
Hal ini tentu baik dan sangat bermanfaat bagi masyarakat yang telah
dipersiapkan dengan skil tertentu dalam mengembangkan usaha dengan memanfaatkan
dana tersebut. Namun bagi masyarakat yang tidak dipersiapan jelas menjadi
ancaman serius yang akan menjadikan masyarakat kehilangan budaya kerja,
tercipta ketergantungan masyarakat pada pemerintah, pragmatis dan konsumtif.
Negara memberikan dana tanpa melihat kondisi masyarakat wilayah lain di Indonesia, terutama
Papua yang selalu korban dari semua
produk UU tersebut.
Undang-Undang
No. 6 tahun 2014 tetang Desa ini merupakan strategi negara yang dipersiapkan
sebagai argumen logis menanggapi aksi masyarakat yang akan menjadi korban dari
pertarungan ekonomi politik oleh negara-negara Asia. Disisi lain, UU ini
dilegitimasi untuk memberikan peluang kepada masyarakat untuk mempersiapkan
diri menghadapi pasar bebas. Parahnya lagi, ditinjau dari sisi waktu pengesahan
UU ini berdekatan dengan pelaksanaan pasar bebas yang hanya tinggal satu tahun.
Sangat jelas, pemerintahn tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan
program pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat akan menjadi korban dari
pertarungan ekonomi politik tersebut atau menjadi konsumtif dan pragmatis
(penonton).
Tidak
ada produk unggulan lokal yang bisa dijualbelikan atau dipasarkan oleh
masyarakat Papua sebagai bentuk partisipasi dalam pertarungan tersebut. Apalagi
direkrut dalam perusahaan multinasional yang membutuhkan tenaga-tenaga handal
berdasarkan standar yang telah ditentukan. Ini ancaman yang sangat luar biasa
bagi masyarakat Papua, semakin terpinggir dan termarginalisasi serta miskin
dinegerinya sendiri. Sehingga impian masyarakat Papua “menjadi tuan di
negerinya sendiri” menjadi slogan politik elit-elit yang berkepentingan untuk
mencari keuntungan pribadi maupun kelompok atas penderitaan masyarakat.
Negara
ini seakan-akan memaksakan masyarakat melalui UU Desa yang telah dilegitimasi
tanpa master planning yang jelas itu,
sehingga masyarakat Papua akan menjadi korban dari penerapan Undang-undang ini
karena masyarakat Papua tidak dipersiapkan untuk menghadapi dan mererapkan UU
tersebut. Jika negara ini mempunyai niat baik untuk membangun dan memberdayakan
masyarakat Papua, tentunya akan berpikir bagaimana mempersiapkan masyarakat
Papua dengan skil tertentu agar dapat memanfaatkan sekian banyak dana yang akan
diberikan tersebut.
Berangkat
dari konteks tersebut, negara khususnya para pembuat kebijakan harus membuat UU
berdasarkan konteks sosial yang ada. Misalnya, masyarakat Jawa tentunya sudah siap menerima UU No. 06/14,
bahkan baik bagi kehidupan mereka, sedangkan masyarakat luar Jawa, terutama
Papua tidak cocok sehingga yang perlu dilakukan adalah mempersiapkan SDM
melalui pendidikan formal dan non-formal yang dikontekstualisasikan dengan
situasi atau kebiasaan wilayah tertentu.
DOB “Desa”
Pemekaran
Daerah Otonomi Baru (DOB)di seluruh Indonesia dan khususnya di Papua saat ini
berjalan tanpa hambatan. Gerakan DOB juga kadang berjalan diluar aturan hukum
yang ditentukan oleh negara sendiri. Negara tahu apa saja yang menjadi
prasyarat dan syarat untuk menjadi DOB, namun itupun tidak diperhatikan. DOB di
Papua pada umumnya tidak membawah dampak positif bagi kehidupan masyarakat,
selain menambah persoalan yang hingga kini belum selesai. Meskipun demikian
pemekaran DOB tetap berjalan begitu saja hingga masyarakat Papua terkotak-kotak
ke dalam batas wilayah yang telah ditentukan oleh negara untuk mengobrak-abrik
persatuan masyarakat yang memperjuangkan status politik Papua yang merupakan
akar konflik tersebut.
Tidak
ada niat baik dari negara ini untuk menjawab persoalan tersebut, selain
memperparah situasi yang ada melalui DOB sebagai pintu masuknya. DOB bukan
hanya provinsi dan kabupaten/kota saja, melainkan juga desa (kampung) juga
diberikan peluang untuk memekarkan DOB desa melalui pasal 7 ayat (4) huruf a
dan pasal 8 ayat (1) UU/6/2014 tentang Desa. Syarat pembentukan atau pemekaran
DOB Desa dilihat dari kuantitas batas usia
Desa induk 5 tahun sejak pembentukan. Jumlah penduduk dalam pembentukan
Desa khusus untuk wilayah Papua dan Papua Barat 100 kepala keluarga (KK).
Berbeda dengan wilayah lain, seperti jawa 1.200 KK, Bali 1000 KK dan lain-lain,
sebagaimana diatur dalam (pasal 8 ayat (3) huruf a,b poin 9,c,d,e,f,g,h.)
Kuantitas
penduduk Desa yang telah ditentukan untuk pemekaran atau pembentukan Desa di
Papua memiliki ancaman serius bagi masyarakat Papua. Selain membuka peluang
datangnya para transmigran untuk mendominasi aktivitas ekonomi juga akan rentan
terjadi perpecahan sosial. Demi pembentukan Desa baru, orang-orang yang
berkepentingan akan mendatangkan masyarakat desa untuk memenuhi syarat, seperti
yang pernah terjadi pada pemekaran DOB Kabupaten dan Provinsi di Papua. Orang
Papua akan semakin terkotak-kotak dalam skala yang paling kecil hanya untuk
mengejar uang (keuangan yang maha kuasa) sehingga akan semakin lupa diri.
Setelah
suku-suku di Papua dibagi kedalam banyak kelompok melalui pemekaran DOB
provinsi dan kabupaten/kota, kini pemekaran desapun hadir untuk memetakan orang
Papua. DOB desa merupakan bagian dari pada upaya negara untuk mengacaukan
tatanan hidup masyarakat Papua lebih khusus dalam keluarga.
Raja-raja Kecil di Kampung
Selama
32 tahun dibawah rezim tangan besi, masalah korupsi telah disentralisasikan. Namun, setelah memasuki era reformasi korupsi
telah berpindah ke kehidupan elit-elit politik lokal dengan mencari keuntungan
pribadi maupun kelompok yang mengatasnamakan pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat. Desentralisasi bukan saja kekuasaan, melainkan juga korupsi yang
kemudian dikenal dengan istilah “raja-raja kecil di daerah” yang hingga kini
belum dituntaskan melalui aturan hukum yang berlaku. Hukum di negara ini
bersifat transaksional, bahkan para penegaklah yang kadang menjadi koruptor,
sehingga masyarakat bingung dan bertanya, yang dikontrol siapa, dan yang
mengontrol siapa?
Kehidupan
masyarakat Indonesia pada umumnya dan khususnya masyarakat
Papua telah memiliki segudang pengalaman yang sulit dilupakan, bahkan sudah
dianggap hal yang wajar terkait dengan korupsi yang selalu mendominasi setiap
pemberitaan di media cetak maupun elektronik. Masalah korupsi telah membudaya
dalam birokrasi secara sistematis dari pusat hingga di daerah dan tak ada titik
terang untuk memberantas kasus tersebut, bahkan
setiap pemberitaan di media seakan-akan menjadi pelajaran berharga bagi
orang (elit) lain untuk melakukan hal yang sama sehingga para koruptor semakin
hari semakin meningkat.
Upaya
untuk mengurangi kuantitas tikus-tikus berdasi menuai berbagai kritikan yang
mematikan hingga mengalami kebuntutan. Dalam konteks itu, UU/6/2014 hadir
sebagai upaya untuk memperluas raja-raja kecil di level desa (kampung).
Berdasarkan UU tersebut kepela Desa berada pada posisi yang sangat signifikan.
Kepala Desa juga diberikan kewenangan dalam menyetujui dan memberikan ijin untuk dimanfaatkan oleh orang-orang yang
berkepentingan investasi maupun
kepentingan pribadi.
Semangat
desentralisasi membawah dampak signifikan dalam memekarkan berbagai daerah
otonomi baru (DOB) berdasarkan argumen yang kadang tidak jelas. Realitas
kehidupan masyarakat Papua membuktikan
bahwa, pemekaran memiliki maksud dan tujuan tersembunyi dibalik wacana
pembangunan dan kesejahteraan. Semangat pemberiaan DOB adalah “satu DOB satu
atau dua Perusahaan”. Menurut para elit-elit politik, hal ini perlu dilakukan
demi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat setempat, namun realitasnya
pemerintah lebih mengejar pendapatan asli daerah (PAD) yang akan dikorupsi dari
pada memperhatikan kondisi lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Dengan
kata lain, semangat DOB membawah dampak sangat buruk bagi masyarakat lokal,
namun, sangat bermakna bagi elit-elit politik lokal.
Semangat
satu DOB satu atau dua perusahaan, tidak hanya terbatas pada kebupaten atau
kota, melainkan diperluas hingga ditingkat desa (kampung) melalui UU desa. Konteks ini akan membawah kausalitas
ketidakpercayaan antara kepala Desa maupun perangkat serta masyarakat hingga
berujung pada perpecahan sosial yang menciptakan individualitas yang tentunya
tidak mempedulikan kehidupan masyarakat lain. Individualitas merupakan salah
satu ciri dari kapitalis itu sendiri, sehingga jelaslah bahwa orientasi UU desa
tersebut adalah memperluas koruptor serta kapitalisasi di tingkat desa
(kampung) untuk meloloskan semangat yang tersembunyi,yakni “satu DOB satu atau
dua Perusahaan”.
0 komentar for "UU Desa: Kapitalisasi Desa "
Leave a reply