Mengapa Lenin Melawan Politik Aneksasi
Posted by Unknown on Jumat, 21 Agustus 2015 | 0 komentar
Kemerdekaan bangsa-bangsa tertindas dan penghapusan secara riil
penindasan nasional akan membawa kita pada fusi bangsa-bangsa, dan
kriteria politik dari kemungkinan ini ada pada kebebasan untuk
memisahkan diri (dari politik aneksasi)” | Lenin
Situasi ekonomi perhambaan Rusia yang
terbelakang mendorong Tsar untuk merubah aturan dan menggantikan dengan
aturan penghisapan baru, Tsar kemudian merangkul system baru kapitalisme
yang dicangkok dari eropa barat. Perkembangan kapitalisme di Rusia
berjalan cukup cepat sesudah perhambaan dihapuskan (1862), namun dalam
perkembangan ekonominya masih jauh tertinggal di belakang dari
negeri-negeri kapitalis lainnya. Kemajuan industri Rusia pada tahun
90-an terutama karena pembangunan jalan kereta api secara intensif.
Selama dasawarsa (1890-1900) telah dipasang rel kereta api baru yang
panjangnya lebih dari 21.000 werst (werst = 1,06 km). Perusahan kereta
api memerlukan sejumlah besar logam untuk rel, lokomotif dan gerbong,
memerlukan bahan bakar yang semakin banyak, batu bara dan minyak bumi.
Ini menyebabkan perkembangan metalurgi dan industri bahan bakar.
Kebutuhan akan bahan mentah dan modal untuk memajukan industri dalam
negeri merupakan syarat bagi Tsar untuk merangkul sekutu yang cocok
untuk melakukan ekspansi ke daerah-daerah yang menyediakan bahan mentah
industri. Sehingga di awal tahun 1917, Rusia Tsar mengambil langkah
membangun blok dengan Inggris, perancis dan Jepang dalam perang melawan
blok Jerman. Perang tersebut merupakan perang saling merebut wilayah
baru dari aneksasi imperialis.
Kapitalisme pada abad ke 19 dan awal abad
ke 20 telah tumbuh sampai tingkat tertinggi dan terakhir
perkembangannya menjadi Imperialisme. Di bawah imperialisme
perserikatan-perserikatan kapitalis yang kuat (monopoli-monopoli) dan
bank-bank (Rothschild Family tahun 1820-an) memperoleh peranan yang
menentukan dalam kehidupan negara-negara kapitalis. Capital finans
menuntut pasar-pasar baru, direbutnya jajahan-jajahan baru,
daerah-daerah baru untuk ekspor capital, dan sumber-sumber bahan mentah
baru. Jauh sebelum perang mulai Lenin, kaum Bolsewyk, telah meramalkan
akan datang perang antar negara maju. Lenin selalu tampil dalam
kongres-kongres internasional dengan usul-usul yang ditunjukkan untuk
menentukan garis sikap kaum revolusioner komunis jika timbul perang.
Lenin tidak meleset dalam prediksi bahwa perang adalah pengiring yang
tak terelakan dari kapitalisme. Perampasan wilayah orang lain, perebutan
dan perampokan negeri-negeri jajahan, perebutan pasar-pasar baru,
menjadi sebab perang penaklukan yang dilancarkan oleh negara-negara
kapitalis. Bagi negeri-negeri kapitalis perang adalah hal yang sama
wajar dan sahnya seperti penghisapan terhadap klas buruh.
Perang ini terutama dipersiapkan oleh
Jerman dan Austria di satu pihak, dan oleh Perancis, Inggris dan Rusia
di pihak lain. Pada tahun 1917 lahir persetujuan entente yaitu
persekutuan antara Inggris, Perancis, dan Rusia sedangkan Jerman,
Austria-Hongaria dan italia membentuk persekutuan imperialis lain.
Jerman berhasrat merebut jajahan-jajahan dari Inggris dan Perancis, dan
merebut Ukraina, Polandia dan kawasan Baltik dari Rusia. Dengan
membangun jalan kereta api Bagdad, Jerman mengancam kekuasan Inggris di
Timur dekat. Inggris takut kepada perkembangan persenjataan angkatan
laut Jerman.
Rusia Tsar berhasrat membagi-bagi Turki,
Mengidamkan merebut selat dari laut hitam ke laut Tengah (Dardanela),
merebut Konstantinopel. Merebut Galisia, bagian dari Austria-Hongaria.
Inggris melalui perang berhasrat mengalahkan saingannya yang
berbahaya-Jerman-yang barang-barang dagangannya menyingkirkan
barang-barang dagangan Inggris dari pasar dunia. Selain itu, Inggris
bermaksud merebut Mesopotamia dan Palestina dari Turki dan bercokol kuat
di mesir.
Kaum Kapitalis Perancis berhasrat merebut
dari Jerman daerah lembah Saar dan Elzas Lotharingen yang kaya akan
batu bara dan besi. Elzas Lotharingen telah direbut dari perancis oleh
Jerman dalam perang tahun 1870-1871. Dengan demikian
pertentangan-pertentangan yang sangat besar di antara dua kelompok
negara kapitalis telah mengakibatkan perang aneksasi antar imperialis.
Lenin dan Perjuangan Melawan Politik Aneksasi
Dalam situasi perang imperialis yang
memanas partai kaum burjuasi liberal –kaum kadet- mengaku sebagai
oposisi terhadap perang imperialis tersebut tetapi mendukung tanpa
syarat politik luar negeri pemerintahan tsar. Sejak awal mula perang,
partai-partai borjuis kecil-kaum sosialis-revolusioner dan kaum
Menshyewik—dengan menggunakan panji sosialisme sebagai kedok, membantu
borjuasi dalam menggelapkan mata rakyat, merahasiakan watak imperialis,
watak kerakusan dari perang. Mereka mengkhotbahkan perlunya membela,
mempertahankan “tanah air” borjuis terhadap “orang-orang barbar Prusia”,
dengan demikian membantu pemerintah tsar Rusia memuluskan perang,
seperti yang terjadi pada kaum sosial-demokrat Jerman yang membantu
pemerintah kaisar Jerman melancarkan perang terhadap “orang-orang barbar
Rusia”.
Kaum Bolshevik tidak menentang semua
perang. Mereka hanya menentang perang perampokan, perang imperialis
untuk menduduki daerah taklukan. Kaum Bolshevik berpendapat bahwa ada
dua macam perang:
- Perang yang adil, bukan perang perampokan melainkan perang pembebasan, yang bertujuan membela rakyat dari serangan luar negeri dan dari usaha untuk memperbudaknya, atau membebaskan rakyat dari perbudakan kapitalisme, atau, akhirnya, membebaskan jajahan-jajahan dan negeri-negeri tergantung dari penindasan kaum imperialis, dan;
- Perang yang tidak adil, perang perampokan, yang bertujuan merebut dan memperbudak negeri-negeri yang terjajah, rakyat-rakyat terjajah.
Sejak hari-hari pertama pecahnya perang,
Lenin telah mulai menghimpun kekuatan untuk mendirikan Internasionale
baru, Iternasionale III. Manifes yang dikeluarkan menentang perang
terhadap pendudukan imperialis pada bulan November 1914, Comite Central
Partai Bolshevik mengajukan tugas untuk mendirikan Internasionale ke III
sebagai pengganti Internasionale II yang telah mengalami kebangkrutan
yang menjijikan (mendukung perang aneksasi imperialisme).
Hanya Partai kaum Bolsyewiklah yang tetap
setia kepada perjuangan agung internasionalisme revolusioner, dengan
tetap teguh pada pendirian Marxis yaitu perjuangan yang tegas melawan
penjajahan dalam negeri otokrasi Tsar, dan menentang aneksasi imperialis
yang dilancarkan dengan cara perang.
Perhatian Lenin dan kaum Bolshevik
terhadap problem negeri-negeri jajahan mulai dilakukan lebih
komprehensif dalam pembentukan Liga Pembebasan Asia pada tahun 1918.
Liga tersebut bertugas menyatukan negeri-negeri di timur untuk bangkit
melawan imperialisme. Dalam programnya liga menolak kelas borjuasi
sebagai bagian dari kekuatan revolusioner di Asia. Menurut Lenin tugas
kaum komunis di negara-negara yang lebih maju adalah bergabung atau
bersolidaritas bersama kaum proletar negara-negara jajahan dalam
perjuangan bersama.
Dalam Konferensi Internasional ke-2, di
tahun 1920 dibentuk komisi permasalahan nasional dan kolonial, yang
terdiri dari wakil Partai Komunis Soviet Rusia, Bulgaria, Prancis,
Belanda, Jerman, Hongaria, AS, India, Hindia Belanda (Indonesia), Cina,
Korea, Inggris raya dan lainnya. Dalam komisi ini, Lenin menegaskan
beberapa hal prinsip untuk memahami persoalan bangsa dalam konteks
imperialisme.
Pertama, Lenin membangun landasan
teoritis bahwa imperialisme telah menciptakan pembagian dunia yaitu
sejumlah besar bangsa-bangsa tertindas dan sejumlah kecil bangsa
penindas yang menguasai kemakmuran secara besar dan angkatan bersenjata
yang kuat. Saat itu, menurut lenin, dari jumlah penduduk dunia yang
mencapai sekitar 1.750 juta, maka sekitar 70% atau 1.2 juta orang hidup
di negeri tertindas, baik sebagai negara jajahan langsung seperti Hindia
Belanda (Indonesia) maupun bersifat semi koloni seperti Persia, Turki,
dan China atau hidup di negara-negara yang dipaksa menandatangani
traktat-traktat damai setelah ditaklukan oleh imperialis seperti Jerman
dalam traktat Versailles di perang dunia Pertama.
Kedua, Lenin menegaskan tentang watak
perjuangan negeri-negeri terjajah yang borjuis-demokratik dan bagaimana
sikap kaum internasionalis III atas perjuangan borjuis demokratik di
negeri-negeri tertindas yang masih terbelakang. Dalam hal ini Lenin,
membedakan gerakan pembebasan nasional yang dipimpin oleh kaum reformis
yang berjuang dengan tuntutan-tuntutan borjuis-demokratik, dengan
kepemimpinan kaum nasionalis revolusioner. Kaum reformis, menurut Lenin
adalah kelompok borjuis negeri-negeri tertindas dan partai-partai yang
mengatasnamakan sosial demokrasi atau soialis. Kelompok ini, seperti
borjuis nasional, bisa jadi mendukung gerakan pembebasan nasional, akan
tetapi dilain kesempatan merangkul tangan dengan borjuis Imperialis.
Kaum reformis sosial demokrasi juga menjadi sasaran Lenin, karena
mendukung bangsa penindas dalam perang antara imperialis selama Perang
Dunia I.
Ketiga, Lenin menekankan pentingnya
kolaborasi dengan borjuis demokratik dan mayoritas petani di
negeri-negeri kolonial dalam strategi kaum nasonalis revolusioner.
Menurut Lenin tidak mungkin partai-partai proletariat di negara-negara
terbelakang, mengikuti strategi internasional III tanpa membangun
hubungan (melakukan kerja-kerja propaganda dan agitasi membangun
kesadaran) dengan gerakan petani karena bagi Lenin kesadaran kaum tani
sangatlah dekat dengan kesadaran kaum borjuis demokratik yang berwatak
reformis sehingga perlu diselamatkan.
Keempat, Lenin menekankan, tidak semua
gerakan pembebasan nasional patut didukung. Lenin mengajukan syarat
bahwa “internasionalis III, harus dan akan mendukung gerakan pembebasan
borjuis di koloni-koloni hanya ketika mereka adalah revoluioner sejati,
dan ketika mereka tidak menghalangi kerja kita dalam mendidik dan
mengorganisasikan petani dan massa luas tertindas. Jika syarat-syarat
ini tidak terpenuhi, kaum internasonalis III di negara-negara jajahan
harus berjuang menyingkirkan kaum borjuis reformis tersebut.
Kelima, Lenin yakin, dukungan proletariat
dan kaum kiri internasional atas kepemimpinan nasional revolusioner di
negeri-negeri koloni yang masih terbelakang akan menuntun gerakan
pembebasan nasional menuju tahap sosialisme tanpa harus melalui tahap
pematangan kapitalisme.
Pada tahun 1903 Lenin berani mengangkat
isu hak menentukan nasib sendiri sebagai sebuah bangsa sebagai sebuah
program perjuangan. Menurut Lenin kaum Bolshewyk harus mengedepankan
tuntutan bagi sebuah republik demokratis yang akan menjamin,”pengakuan
bagi hak untuk menentukan nasib sendiri bagi seluruh bangsa yang menjadi
bagian dari Negara.” Dalam tulisannya “The Right of nation to
Self-Determination”, Lenin memahami “bahwa hak untuk menentukan nasib
sendiri bagi bangsa-bangsa berarti pemisahan bangsa-bangsa ini dari
tubuh bangsa asing dan pembentukan negara nasional independen.” Hak ini
menurut Lenin harus dimaknai sebagai sebuah perjuangan politik untuk
memerdekakan sebuah bangsa dari “bangsa penindas” sebagai sebuah
ekspresi dari sebuah perjuangan menentang seluruh penindasan nasional.
Lenin dengan jelas mengatakan akibat dari imperialisme telah melahirkan
“bangsa penjajah” dan “bangsa terjajah.” Menurut Lenin, hak untuk
menentukan nasib sendiri berlaku bagi bangsa tertindas yang
tersubordinasi dalam negara multi bangsa-bangsa di negeri kolonial,
ataupun bangsa yang dianeksasi terutama dalam masa imperialisme.
Menurut Lenin, aneksasi atau pendudukan
adalah “penegakan batas-batas negara yang bertentangan dengan keinginan
penduduk setempat.” Konsep aneksasi bisa dilihat manifestasinya pada
tindakan pemaksaan (dengan alat-alat
pemaksaan/kekerasan/tentara/penjara) dan penindasan oleh bangsa lain
(penggabungan wilayah oleh pihak asing).
Bagi Lenin setiap protes untuk melawan
aneksasi adalah pengakuan hak untuk menentukan nasib sendiri. Karena
aneksasi melanggar penentuan nasib sendiri bangsa-bangsa, atau dengan
kata lain, adalah sebuah bentuk dari penindasan nasional.
Beberapa hal menurut Lenin mengenai hak
menentukan nasib mencakup: Pertama, hak untuk merdeka dalam politik, hak
untuk membebaskan tindakan pemisahan politik dari bangsa penindas.
Kedua, hak yang mengimplikasikan kebebasan sepenuhnya untuk mengadakan
pelepasan, termasuk referendum bagi bangsa tertindas. Ketiga, hak yang
bermakna ekspresi yang konsisten dari perjuangan menentang seluruh
penindasan nasional.
Lenin menegaskan bahwa penting bagi kaum
Internasional III untuk mendukung hak dari negeri tertindas untuk
memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri (melawan politik aneksasi),
guna melawan sentimen nasionalisme sempit yang medominasi kesadaran kaum
buruh dan massa luas tertindas di negeri-negeri imperialis. Kaum
internasioanal III harus mendukung hak sebuah bangsa untuk menentukan
nasib sendiri karena hal tersebut merupakan unsur kunci bagi sebuah
pendekatan strategis dalam membangun solidaritas internasional kelas
pekerja berdasarkan kondisi nyata. Konsekuensi dari gerakan solidaritas
ini dapat membangkitkan semangat solidaritas internasional kelas buruh
di negeri penjajah, menjadi pendukung hak dari rakyat terjajah untuk
merdeka. Dan pada saat yang sama, kaum Internasional III di negeri
terjajah menyadarkan kelas buruh agar menolak menjadi bagian dari negeri
penjajah, sekaligus mengajak kelas buruh dan rakyat terjajah bergerak
dari nasionalisme menuju pembangunan sosialisme.
—————————
Daftar Pustaka:
Daftar Pustaka:
- Bolshewykov, (1950), Sejarah Partai Komunis Uni Soviet, Komisi CC PKUS B, Moscow.
- Hill, Cristhopher; (2009), Lenin: Teori Dan Praktek Revolusioner, Resist Book, Yogyakarta.
- Lafargue, Paul; (2008), Hak Untuk Malas, Jalasutra, Yogyakarta.
- Lenin; (1916), Revolusi Sosialis dan Hak Seatu Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri, Bintang Nusantara, Yogyakarta.
- Wilson, (2010), A Luta Continua: Politik Radikalisasi di Indonesia dan Pergerakan Pembebasan Timor Leste, Tanah Lapang, Jakarta Selatan.
0 komentar for "Mengapa Lenin Melawan Politik Aneksasi"
Leave a reply