Media Massa, Rasisme Struktural, dan Legitimasi Kekerasan di Papua
Posted by Unknown on Jumat, 05 Juni 2015 | 0 komentar
PADA tahun 1915 sampai dengan 1918, pada saat Perang Dunia I (PD I)
berlangsung, pemerintah Turki secara sistematis membantai populasi
Armenia yang ada di negara itu. Orang Armenia menjadi korban deportasi,
pengusiran, penyiksaan, pembantaian dan kelaparan. Sejumlah besar
populasi Armenia ini diusir ke Syria dan padang pasir, sehingga mereka
mati akibat kelaparan dan kehausan.
Pembantaian terhadap ras Armenia kembali terjadi tahun 1920 sampai
dengan 1923. Kali ini dilakukan oleh oposisi Pemuda Turki yang memiliki
pandangan kemurnian ras yang sama. Total diperkirakan satu setengah juta
orang Armenia terbunuh selama periode 1915- 1923 tersebut.
Dua pembantaian ras Armenia di Turki ini, tak bisa dilepaskan dari
peran media di Turki sejak tahun 1915. Media Turki, selama periode PD I,
telah membangun propaganda ideologis tentang pembentukan kekaisaran
Turki baru yang disebut Pan-Turanism, yang terbentang dari Anatolia
hingga Asia Tengah. Ide Pan-Turanism rencananya hanya menjadi milik
orang Turki asli saja. Propaganda inilah yang menjadi pembenaran atas
pembunuhan besar-besaran dalam dua periode waktu tersebut.
Turki dan periode kekelamannya hanyalah salah satu dari contoh
bagaimana media terlibat dalam propaganda yang secara sadar meletakkan
satu komunitas berada di bawah komunitas lainnya. Praktik rasisme secara
struktural ini, pernah terjadi juga pada zaman Yunani dan Romawi kuno.
Juga terjadi pada zaman perbudakan ras Afrika abad XVI. Setelah
kesombongan Turki, Nazi kembali mempraktikkan rasisme struktural ini
terhadap bangsa Yahudi. Paska Perang Dunia II, rasisme struktural ini
terjadi lagi secara masif di Afrika Selatan, bangsa Indian di benua
Amerika dan bangsa Aborigin di Australia. Dua yang terakhir, masih
terjadi hingga saat ini. Pada semua praktik rasisme struktural ini,
peran media massa sangat signifikan dalam membangun opini publik yang
memungkinkan hal itu terjadi.
Media massa ibarat pedang bermata-dua. Pada satu sisi ia bisa
memainkan peran untuk mendorong terwujudnya kondisi sosial yang egaliter
dan harmonis di antara beragam perbedaan sosial dan politik. Pada sisi
lainnya, media massa adalah alat propaganda yang ampuh untuk memelihara
rasisme struktural yang pada akhirnya membenarkan tindakan kekerasan
secara berkelanjutan oleh Negara yang dikuasai oleh kelompok mayoritas
terhadap kelompok minoritas. Di sini kelompok minoritas ditempatkan pada
posisi yang paling rendah dalam kebudayaan dan akal budinya.
Pelanggaran Etika, Mempertahankan Rasisme Stuktural
Rasisme struktural yang dipompa oleh media massa juga berlangsung di Papua. Pada Rabu 27 Mei 2015, misalnya, Kantor Berita Antara menyiarkan berita berjudul “Pangdam berupaya bebaskan anggota TNI yang disandera” yang ditulis oleh Evarukdijati. Pemberitaan ini kemudian dikutip oleh berbagai media online, salah satunya adalah merdeka.com dengan judul berita yang sangat tidak etis, “Kelompok bersenjata sebut 2 TNI yang ditangkap sudah dimasak”.
Berita tersebut, sangat menyesatkan dan menyebarkan opini rasis
terhadap orang asli Papua. Berita ini telah menggiring opini publik pada
praktek kanibalisme yang menempatkan Orang Asli Papua sebagai komunitas
yang sangat rendah kebudayaan dan akal budinya, seperti ditunjukkan
oleh beberapa laman situs online, antara lain bersamadakwah.com, beritacenter.com, jakartagreater.com, wartapriangan.com, dan pojoksatu.id.
Pemberitaan selanjutnya yang disiarkan oleh Kantor Berita Antara pada tanggal 28 Mei 2015 yang berjudul “Panglima TNI bantah dua prajurit disandera”,
semestinya secara otomatis mengonfirmasi bahwa berita pertama yang
ditayangkan sebagai berita yang tidak valid dan tidak akurat.
Pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pokok Pers, Huruf C menegaskan
Pers nasional melaksanakan peranannya mengembangkan pendapat umum
berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
Berita berjudul “Pangdam berupaya bebaskan anggota TNI yang
disandera” telah gagal memenuhi unsur informasi yang tepat, akurat dan
benar sehingga merugikan Orang Asli Papua. Berita tersebut justru telah
mengembangkan pendapat umum namun tidak didasarkan oleh informasi yang
tepat, akurat dan benar. Bantahan Panglima TNI dalam berita berjudul
“Panglima TNI bantah dua prajurit disandera” mengkonfirmasi bahwa
penyanderaan yang diberitakan tersebut TIDAK PERNAH TERJADI. Sehingga
patut dipertanyakan ketepatan, keakuratan dan kebenaran informasi dalam
berita tersebut.
Pemberitaan tersebut telah melanggar beberapa pasal dalam Kode Etik Jurnalistik yang diterbitkan oleh Dewan Pers sbb :
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara
berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta
menerapkan asas praduga praduga tak bersalah.
Berita berjudul “Pangdam berupaya bebaskan anggota TNI yang
disandera” jelas tidak berimbang karena hanya berdasarkan informasi
dari Panglima Kodam Cenderawasih yang didapatkan dari Danramil Komepa
serta mencampurkan fakta dan opini yang menyesatkan melalui kalimat
“Kedua anggota TNI sudah dimasak”. Patut diragukan jika wartawan yang
menulis berita tersebut telah melakukan uji informasi.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Berita berjudul “Pangdam berupaya bebaskan anggota TNI yang
disandera” adalah berita bohong dan fitnah karena telah dibantah oleh
Panglima TNI melalui berita “Panglima TNI bantah dua prajurit
disandera”. Selain itu, berita ini layak disebut berita yang sadis karena memuat kalimat “Kedua anggota TNI sudah dimasak” yang menggiring opini publik pada praktek kanibalisme.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan
prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan
suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak
merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat
jasmani.
Berita berjudul “Pangdam berupaya bebaskan anggota TNI yang
disandera” adalah berita yang disiarkan berdasarkan prasangka atau
diskriminasi terhadap Orang Asli Papua dan merendahkan martabat Orang
Asli Papua melalui kalimat “Kedua anggota TNI sudah dimasak” yang
dikutip oleh berbagai media lainnya. Kalimat ini telah menggiring opini
publik, seakan praktek kanibalisme masih dilakukan oleh Orang Asli
Papua.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita
yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada
pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Meskipun Panglima TNI telah membantah adanya penyanderaan atas
dua anggota TNI seperti yang diberitakan dalam berita “Pangdam berupaya
bebaskan anggota TNI yang disandera”, namun Kantor Berita Antara tidak
dengan segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan
tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar,
dan atau pemirsa.
Mencari Legitimasi atas Kekerasan di Papua
Awal tahun 2000, Noam Chomsky, Profesor di Massachusetts Institute of
Technology muncul dengan pendapatnya tentang ‘kontrol opini publik’. Ia
mengatakan ada dua model demokrasi dalam sejarah, yakni demokrasi
dimana masyarakat secara aktif berpartisipasi dan satunya lagi di mana
masyarakat dimanipulasi dan dikendalikan kesadarannya. Menurut Chomsky,
yang juga dikenal sebagai father of modern linguistics,
propaganda dalam demokrasi digunakan sebagai gada oleh negara totaliter,
dan media massa adalah kendaraan utama untuk menyampaikan propaganda di
Amerika Serikat. Analisanya terhadap Komisi Creel (sebenarnya bernama
Komite Informasi Publik), bentukan presiden Woodrow Wilson. Dalam masa
PD I itu, Wilson menempatkan temannya George Creel, seorang jurnalis dan
editor pada surat kabar Rocky Mountain News untuk mengubah
sikap populasi Amerika Serikat yang pasif menjadi histeris agar Amerika
Serikat mendapatkan legitimasi publik untuk terlibat dalam PD I.
Praktek yang sama dilakukan dalam masa pemerintahan George Bush untuk
melegitimasi keterlibatan Amerika Serikat dalam perang di Irak. Chomsky
menemukan bahwa media massa dan Industri Kehumasan telah digunakan
sebagai propaganda untuk menghasilkan dukungan publik agar Amerika
Serikat terlibat dalam perang di Irak. Profesor ini pada akhirnya
berkesimpulan, industri Kehumasan di abad XX telah sangat dipengaruhi
oleh teori Walter Lippmann ‘Penonton Demokrasi’, yang memandang
masyarakat sebagai ‘kelompok yang bingung’ sehingga perlu diarahkan,
bukan diberdayakan. Industri Kehumasan di Amerika Serikat dan banyak
negara berkembang ternyata menempatkan fokus mereka pada ‘mengendalikan
pikiran publik,’ dan bukan pada menginformasikan sesuatu yang menjadi
hak publik atas informasi.
Di Papua, kontrol terhadap media dan kontrol terhadap opini publik
menjadi sangat berharga bagi negara. Sangat berharganya hingga kalimat
“Kedua anggota TNI sudah dimasak” yang pasti hanyalah sebuah kode dalam
institusi TNI – Kode yang semestinya tak perlu disampaikan kepada
publik- harus disampaikan kepada publik melalui media massa. Terbukti,
kalimat ini ditafsirkan secara berbeda oleh publik dan Kepolisian
Daerah Papua kemudian mengirimkan satu peleton anggota Brigade Mobil ke
Enarotali. Sadar atau tidak sadar, media dan Industri Kehumasan telah
terlibat dalam melegitimasi praktek kekerasan berkelanjutan di Papua dan
melegitimasi kehendak negara untuk melibatkan sebanyak mungkin aparat
keamanan di Papua melalui Rasisme Struktural.
Jurnalisme terlalu berharga untuk dikendalikan oleh sebuah institusi dan merendahkan satu komunitas.***
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Tabloid Jubi, di Papua
You can subscribe by e-mail to receive news updates and breaking stories.
0 komentar for "Media Massa, Rasisme Struktural, dan Legitimasi Kekerasan di Papua"
Leave a reply