Pemekaran dan Proses Pemusnahan Manusia Papua Melalui Pendidikan
Posted by Unknown on Jumat, 05 Juni 2015 | 0 komentar

”Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun
orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak
dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya
sendiri,” oleh Pdt. I.S. Kijne, Wasior-Manokwari, tanggal 25 Oktober 1925.
BICARA soal pendidikan di Indonesia pasti tidak ada ujungnya.
Pernyataan itu kerap muncul di kalangan terpelajar seperti
organisasi-organisasi gerakan mahasiswa dan masyarakat. Pendidikan di
Indonesia hari ini punya banyak kontroversi, lebih-lebih di kalangan
elit institusi pendidikan di Indonesia. Satu hal menarik yang akan saya
angkat dalam tulisan ini adalah soal situasi pendidikan di Papua dari
kacamata negatif, dalam arti dampak yang kerap timbul dan berakar di
Papua. Di samping itu, tulisan ini hendak menunjukkan proses menuju
pemusnahan manusia Papua lewat pendidikan. Pemusnahan ini diartikan
sebagai sebuah proses luntur dan hilangnya manusia Papua yang
sesungguhnya.
Sebelumnya, saya sepakat dengan tulisan Johanes Supriyono berjudul “Pendidikan di Papua, Masalah Serius.”[1]
Benar, pendidikan di Papua saat ini adalah masalah kompleks yang
serius. Ada beberapa poin penting yang sudah diuraikan di dalam tulisan
tersebut, soal kisah klasik pendidikan Papua, seperti cerita-cerita
tentang gedung sekolah yang reyot, jumlah guru yang sedikit, dan
minimnya ketersediaan buku-buku pelajaran di pedalaman. Kisah seperti
ini dimiliki bukan saja oleh generasi sekarang. Generasi-generasi
sebelumnya sudah lebih dulu mengalami.
Tidak banyak yang berbeda dari foto-foto gedung sekolah dasar di
pedalaman Papua pada tahun 1980’an dengan yang ada sekarang ini. Boleh
jadi, sepanjang sejarah berdirinya sekolah-sekolah di pedalaman, yang
punya perpustakaan bisa dihitung jari. Profil sekilas murid-murid pun
sama: sedikit yang mengenakan sepatu, seragam yang kumal, dan lusuh.
Jumlah guru tidak bertambah secara signifikan. Bahkan, sekolah-sekolah
di pedalaman Papua pada umumnya kekurangan guru.
Hal lain yang disinggung Supriyono adalah soal semangat pendidikan
untuk pembebasan yang belum jadi semangat pendidikan kita. Semangat
pendidikan ini antara lain ditandai lewat pemberian ruang utama untuk
pengetahuan lokal. Peserta didik dibimbing untuk mengenali dirinya:
sejarah, tanah kelahiran, silsilah, dan segala macam pengetahuan yang
paling dekat dengan mereka. Semangat pembebasan diawali dengan mengenal
diri sendiri dan perlahan mulai mengenali yang lain. Dengan demikian,
anak-anak pun pada masanya akan mengerti secara lebih utuh diri mereka
sendiri. Tanpa ruang untuk memahami diri sendiri, pendidikan bagi
anak-anak Papua hanya akan membuat mereka jadi orang lain.
Dalam konstruksi pendidikan di Papua saat ini, di samping kedua
masalah mendasar tadi, banyak juga masalah pendidikan yang mendera
segala lini kehidupan manusia Papua. Tetapi yang mendasar adalah
bagaimana untuk mencerdaskan manusia Papua untuk mengenali diri mereka.
Lalu bagaimana kita melihat proses masalah pendidikan yang saat ini
dialami oleh orang Papua? Masalah ini adalah masalah riil yang saya
sendiri alami. Beberapa poin penting yang perlu kita simak untuk
menjawab pertanyaan ini adalah benarkah pendidikan di Papua jadi masalah
serius sebab saat ini pendidikan justru menggiring pada proses
pemusnahan manusia Papua? Dari sini kita mencoba untuk melihat titik
masalah yang kerap timbul berdasarkan proses kerja pemerintah Indonesia.
Pemekaran Provinsi, Wilayah dan Kota
Saat ini, sebab utama dari tidak berkembangnya pribumi Papua adalah
akibat pemekaran kota dan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia. Salah satu momen penting lain dalam sejarah Papua adalah
pembagian “bumi cenderawasih” ini jadi 1 provinsi baru dan puluhan
daerah baru. Dalam kosakata pemerintah disebut pemekaran.
Sejarah Pemekaran Provinsi Papua dimulai sejak turunnya dua
Undang-Undang (UU) yang sama sekali tidak berjalan, yaitu UU Nomor 45
tahun 1999 tentang pemekaran provinsi Papua menjadi tiga provinsi yaitu
Provinsi Papua, Papua Tengah dan Papua Barat dan UU Nomor 5 tahun 2000.
Setelah gagal dalam memberlakukan kedua UU tersebut, untuk meredam
perjuangan nasionalisme Papua untuk merdeka, Pemerintah Indonesia
mengeluarkan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi
Papua (UU Otsus) yang ditandangani Presiden Indonesia ketika itu,
Megawati Soekarno Putri dan mulai diberlakukan pada 21 November 2001.[2]
Namun hingga saat ini, Provinsi Papua hanya dibagi menjadi dua provinsi
besar, yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Tetapi untuk
Papua Barat menjadi dasar pemekaran yang dibentuk tanpa payung hukum
yang jelas.
Yang perlu dipahami di sini adalah, terbaginya kesatuan pulau Papua
adalah bukti lain dari terkikisnya integrasi orang Papua dalam bentuk
yang berbeda. Pemekaran wilayah dan kota menjadikan orang Papua susah
untuk berpikir ke depan akan nasib mereka yang memiliki banyak pemimpin
dan impian luhung. Saat ini Provinsi Papua yang besar terbagi jadi dua
provinsi besar yang sama-sama menjalankan peran dan fungsi pemerintahan
sendiri-sendiri. Kalau kita tinjau dari sejarah orang Papua, kesatuan
kebudayaan dari 250 lebih suku yang mengayomi pulau Papua membenarkan
integritas dan kesatuan yang masih terbangun. Dampak terpecah-belahnya
provinsi, daerah dan kota menjadikan orang Papua tidak mampu bersaing
dengan arus globalisasi yang serba cepat datangnya.
Disamping itu, pulau Papua sendiri dibagi menjadi puluhan kabupaten
dan kota. Dampak negatif utama arus modern yang menimpa masyarakat jauh
melebihi yang diterima masyarakat di luar Papua seperti: Jawa, Sumatera,
Kalimantan dan lain-lain. Contoh riil seperti di wilayah saya sendiri
di Mee-pago. Wilayah Mee-pago dihuni oleh satu suku besar, yaitu suku
Mee yang menjalani hidup dengan sistem kekerabatan yang memberikan
kesejahteraan bagi suku Mee. Namun setelah diperluas jadi lima
kabupaten, konflik internal pun terjadi hingga saat ini. Dengan
permasalahan batas wilayah ditambah konflik perebutan jabatan antar elit
politik. Masyarakat asli sendiri tidak mampu bersaing dengan orang
non-Papua yang datang hanya mencari nafkah dengan membuka usaha-usaha
mereka. Keterbelakangan langgeng disebabkan sistem pemekaran yang dibuat
oleh pemerintah pusat. Orang Papua dimanfaatkan untuk kepentingan elit
politik semata.
Pemekaran juga membikin orang Papua menjadi malas untuk berkebun,
membuka usaha sendiri, menjadi pendidik, dan lain-lain. Sistem pemekaran
membuat orang Papua jauh meninggalkan kebudayaannya sendiri. Hal
penting lainnya setelah pemekaran, orang asli Papua sendiri dibentuk
untuk berlomba masuk ke dalam birokrasi pemerintahan yang ada.
Pemekaran Diterapkan, Guru-Guru Lama di Tarik ke Dinas
Sebelum pemekaran banyak sekali orang asli Papua yang dididik oleh
pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda mendorong orang
asli Papua untuk menjadi pendidik dan menularkan ilmunya pada
masyarakat. Setelah Pepera 1969, kepentingan Indonesia dan Amerika
bersekongkol memanipulasi dan merekayasa Pepera tersebut. Proses
penyadaran mental dan intelektual dalam pengetahuan yang didorong
Belanda diambil alih Indonesia. Banyak sekali orang-orang, juga generasi
ayah saya, yang tersingkir.
Setelah Soekarno membuat Papua menjadi satu provinsi dan lima
kabupaten di tanah Papua, banyak sekali orang asli Papua bekas didikan
Belanda yang tidak lagi menjadi guru. Mereka masuk ke dalam birokrasi
pemerintahan pada waktu itu. Sampai saat ini orang Papua dalam sistem
pendidikan sangat terjajah oleh peran pemerintah yang begitu ambisius
melakukan suatu hal yang bertentangan dengan nilai dan budaya orang
Papua setempat. Contoh riilnya di Mee-pago, ayah teman saya, seorang
guru yang sudah mengajar pada tahun 1970’an hingga tahun 2009. Setelah
2010, akibat pemekaran wilayah dan kota dibuat oleh pemerintah
Indonesia, ia tidak lagi mengajar di sekolah yang dulunya dia mengabdi.
Contoh lainnya, di Mee-pago. Pasca pemekaran guru-guru yang lama
semua ditarik ke dinas. Hingga saat ini sekolah tersebut hampir ditutup
karena tidak ada guru yang mau mengajar. Gedung sekolah pun tidak sama
seperti gedung sekolah yang ada di perkotaan dan pedesaan. Hal ini
terjadi akibat program pemerintah melalui pemekaran yang memecah-belah
proses pendidikan secara sistematis.
Pemekaran Diterapkan, Orang Papua Dibentuk Untuk Tidak Mau Menjadi Guru
Pemekaran dibuat oleh pemerintah Indonesia, setelah itu orang Papua
dibentuk untuk tidak tertarik menjadi guru. Hal ini terjadi di generasi
orang asli Papua saat ini. Korbannya jelas generasi muda Papua. Para
murid itu yang pada dasarnya punya hak mendapatkan pendidikan dan
pengajaran yang layak[3].Saat
ini, seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, generasi ayah saya
menjadi korban pemekaran, dan generasi saat ini mendapatkan hal yang
sama. Pemekaran memberikan ruang yang besar tetapi sistem kerja
imperialis membenarkan pembunuhan karakter dan watak orang Papua melalui
kerja pemekaran yang dibuat secara sistematis.
Meski lapangan pekerjaan mulai tersedia, hampir semua orang, termasuk
orang dari luar Papua berlomba menjadi pegawai negeri sipil atau
pekerjaan dinas lainnya di Papua. Lapangan pekerjaan malah membunuh
kebudayaan dan relasi sosial orang asli Papua. Misalnya, banyak sekali
sanak saudara saya sendiri yang setelah selesai kuliah dari perguruan
tinggi mengadu nasib ikut pemilihan jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), ikut ujian CPNS, hingga lapangan pekerjaan lainnya yang serba
instan yang dibuat oleh pemerintah. Generasi saat ini dibentuk untuk
hidup instan bagai menunggu hujan datang di musim kemarau.

Prajurit TNI menjadi guru di Papua. Foto diambil dari https://korem172.files.wordpress.com
Kurikulum Pendidikan Indonesia yang Bertentangan Dengan Nilai, Budaya, dan Sejarah Orang Papua
Berdasarkan pengalaman saya mengecap pendidikan dari Sekolah Dasar
(SD) hingga Sekolah menengah Sekolah Menengah Atas (SMA), saya merasa
kurikulum yang ada telah melepaskan orang Papua dari kebudayaan aslinya.
Sewaktu kelas 4 SD, saya sudah diajarkan secara keras untuk belajar
tentang kerajaan-kerajaan di Jawa, tentang kembalinya Papua dalam
Indonesia dari versi Indonesia, belajar tentang kehidupan di Jawa,
Sumatera, Kalimantan dan lain sebagainya. Juga belajar soal sejarah
candi-candi, seperti Candi Borobudur, Candi Kalasan, dan lain
sebagainya.
Hal yang kerap melintas dalam benak saya adalah, apakah yang hidup
dahulu adalah mereka yang sudah saya belajar dari SD hingga SMA? Ataukah
setelah saya selesai sekolah, saya akan dibentuk untuk ikut dengan apa
yang mereka terapkan? Juga, apakah saya tidak mempunyai silsilah dan
budaya? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya yang sering
muncul dan terekam dalam ingatan masa lalu saya.
Kalau seperti ini, sudah jelas proses pemusnahan karakter merujuk
pada hilangnya nalar dan budaya orang Papua. Tentu ini masalah yang
merujuk pada hilangnya identitas diri sebagai orang Papua. Tidak
mengenali diri sendiri, tidak mengenali lingkungan sosial masyarakat
Papua, bahkan tidak mengerti dan memahami eksistensi diri?
Kembali untuk memahami tulisan Supriyono di atas. Semangat pendidikan
yang membebaskan harus menjadi semangat pendidikan kita. Semangat
pendidikan ini antara lain ditandai dengan pemberian ruang utama untuk
pengetahuan lokal. Sayangnyapendidikan yang membebaskan itu tidak
dirasakan oleh orang Papua sebagai bangsa yang sedang ditindas.
Prospek nilai dan norma orang Papua tercermin erat dalam nilai-nilai
adat yang mengikat lingkungan sosial orang Papua. Nilai dan norma itu
sering dianggap sebagai suatu kekeliar, sebabnya karena kurikulum
pendidikan pemerintah yang tidak sesuai dengan kearifan lokal orang
Papua. Kehidupan orang Papua diubah untuk tidak mengenali diri sendiri
sebagai orang Papua yang mempunyai identitas otonom. Semenjak SD hingga
SMA saya tidak pernah mendapatkan pendidikan yang bermuatan budaya
Papua.
Terkadang juga kita dipaksakan untuk belajar sejarah orang lain.
Misalnya, ini tidak menyinggung pembaca atau siapa pun tetapi ini nyata
dan perlu untuk kita memahami dan belajar tentang sejarah kemerdekaan
Indonesia. Tidak ada satu pun orang Papua yang menjadi pahlawan
proklamator Indonesia dan kita dipaksakan untuk belajar tentang hal ini.
Tetapi proses sejarah orang Papua yang dimanipulasi oleh Indonesia dan
Soekarno demi kepentingan mereka pun tidak diajarkan kepada orang Papua.
Seakan yang kita belajar di bangku pendidikan hanyalah hasil rekayasa
pemerintah untuk membenarkan bahwa Papua masuk ke Indonesia adalah murni
berkat kemenangan Indonesia. Tetapi kita tidak sadar bahwa PBB, Amerika
Serikat, dan Indonesia bekerja sama demi kepentingan ekonomi politik,
hingga Pepera 1969 direkayasa Indonesia. Banyak sekali orang Papua yang
memperjuangkan kebenaran pada saat itu, dibunuh oleh TNI (dulu ABRI)
melalui aksi-aksi dan penyampaian pendapat yang mereka lakukan pada saat
itu.
Memang, pendidikan di Papua dalam proses pembelajaran sangat tidak
seksi. Pendidikan di Papua berbasis pada kepentingan kalangan tertentu
yang dibuat oleh pemerintah pusat dengan cara-cara yang sistematis untuk
membunuh dan memusnahkan watak orang Papua secara bertahap. Hingga
sampai saat ini, orang Papua ada yang sudah melupakan budayanya mereka.
Tentang silsilah orang Papua yang sesungguhnya pun sudah dimatikan
dengan penerpaan pendidikan yang sudah di buat oleh pemerintah
Indonesia.
Program SM3T dan Indonesia Mengajar, untuk Siapa?
Beberapa waktu lalu saya diikutsertakan dalam sebuah pertemuan
mewakili mahasiswa Papua. Pertemuan tersebut membahas pengalaman para
sarjana Indonesia yang ikut Program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan,
Terluar, dan Tertinggal (SM3T) di seluruh Indonesia. Dalam pertemuan
itu, para sarjana tersebut menceritakan pengalaman mereka ketika
mengajar setahun di tempat mereka mengabdi, satu di antaranya di Papua.
Sebagai orang Papua saya diminta menceritakan kondisi pendidikan di
Papua. Banyak sekali keprihatinan, suka, duka mereka ketika mengajar di
Papua. Mereka menceritakan banyak hal soal kondisi pendidikan riil di
Papua menurut apa yang sudah mereka lihat dari kacamata pendidikan dan
apa yang sudah mereka buat di Papua.
Mereka menceritakan pengalaman-pengalaman mereka sebelum seleksi SM3T
dengan latihan naik gunung, melewati rawa, melewati sungai, dan masih
banyak lagi. Ada sebuah cuplikan video yang mereka putar pada saat itu
dan ini menarik untuk disimak soal pendidikan yang mereka berikan untuk
murid orang asli Papua. Dalam video itu, beberapa dari mereka
mengajarkan bernyanyi “Gundul-Gundul Pacul”, “Lagu Indonesia Raya”
dan sebuah lagu yang berasal dari daerah Kalimantan. Mereka mengajarkan
tentang pendidikan dan keadaan di luar Papua. Dari pertemuan ini,
setelah berpikir kembali tentang apa yang mereka lakukan di sana, saya
malah menjadi bingung. Apa yang mereka ajarkan di Papua sangat
bertentangan dengan kehidupan dan lingkungan sosial orang Papua yang
sesungguhnya.
Sekarang kembali pada pemekaran yang dibuat pemerintah Indonesia.
Satu alasan penting yang sudah diuraikan di atas, bahwa setelah adanya
pemekaran di Papua orang asli Papua dibentuk untuk tidak menjadi guru.
Proses itu diteruskan dengan bergulirnya program pemerintah Indonesia
berupa program transmigrasi besar-besaran mulai dari Orde Lama, Orde
Baru, hingga Reformasi saat ini. Demikian juga dengan program-program
seperti SM3T dan Indonesia Mengajar yang berjalan hingga sampai
sekarang. Lalu bagaimana dengan generasi Papua yang mau menjadi guru dan
mengajarkan tentang pola kehidupan mereka sendiri? Ini menjadi
pertimbangan besar setelah semua dibuat konstruktif dan sistematis oleh
pemerintah Indonesia.
Dari pengalaman yang sudah diceritakan di atas, -pelajaran yang dapat
dipetik adalah bagaimana guru-guru dari program SM3T dan Indonesia
Mengajar menerapkan pola pendidikan yang bertentangan jauh dari
kehidupan sosial budaya masyarakat yang sesungguhnya. Dan ini
menyingkirkan dan memerosotkan nilai, budaya, dan sejarah orang Papua
yang sesungguhnya. Apakah yang harus dipersalahkan adalah model
pelatihan mereka sebelum diberangkatkan? Ataukah mereka harus diseleksi
selama satu tahun untuk mengenali bumi Papua yang sebenarnya? Ini harus
dilakukan supaya kita dapat memahami secara seksama terlebih dahulu
kondisi masyarakat dimana mereka ditempatkan. Memang, pendidikan di
Papua sangat tidak membebaskan.
TNI Menjadi Jawaban Dalam Pendidikan, Ironis!
Sejak 1 Mei 1963, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNTEA
menyerahkan Papua kepada Indonesia demi persiapan New York Agreement
(Pepera 1969). Tetapi setelah penyerahan tersebut, cepat-cepat Amerika
menandatangani kontrak pertama PT Freeport pada tahun 1967, sebelum
dilakukannya Pepera 1969, tanpa melibatkan orang Papua sebagai pemilik
hal ulayat atas tanahnya sendiri.
Setelah itu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) melakukan
penyisiran-penyisiran dan kekerasan-kekerasan terhadap rakyat Papua,
sebelum persiapan Pepera 1969. Hingga tahun 1969, Pepera dilakukan
dengan banyak sekali pelanggaran yang dibuat oleh ABRI (TNI). Hingga
Papua diserahkan secara paksa, masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Dalam sejarah singkat ini, yang saya mau sampaikan adalah bagaimana
kawan-kawan mahasiswa dan masyarakat non-Papua bisa memahami sejarah
orang Papua yang sesungguhnya. Seperti yang sudah dijelaskan di atas,
TNI hadir di atas tanah Papua menjadi trauma masa lalu orang Papua yang
dilakukan pada Mei 1963, Pepera 1969, bahkan hingga saat ini.
Hampir di seluruh tanah Papua, TNI jadi aktor pembunuhan. Dengan
berbagai stigma yang mereka berikan hanya karena orang Papua berambut
gimbal maka mestilah ia separatis. Orang Papua yang mengajarkan budaya
mereka dikatakan separatis, orang Papua yang melanggar birokrasi
pemerintahan Indonesia dituduh makar dan lain sebagainya. Bukan hanya
TNI, Polri juga ikut-ikutan melakukan berbagai pelanggaran terhadap
kemanusiaa di Papua.
Ketakutan tersebut berdampak pada guru-guru orang Papua yang masih
tersisa dan disingkirkan oleh pemerintah Indonesia. Kurangnya jumlah
tenaga pengajar di Papua menjadi dalih bagi TNI untuk menjadi guru
pengganti bagi orang asli Papua. Semua dibuat sistematis dan orang Papua
sendiri akan saling menyalahkan satu sama lain.
Program SM3T dan Indonesia mengajar di Papua sejalan dengan proses
pendidikan yang dilakukan oleh TNI. Kalau pandangannya seperti ini, maka
jelas sekali bahwa program semacam ini bukanlah jawabannya. L alu mau
dikemanakan orang Papua? Konteks pendidikan membenarkan kenyataan yang
realistis saat ini di Papua. TNI datang mengajar, konsekuensinya
guru-guru orang asli Papua pun tersingkirkan.
Sekarang kalau diamati, soal pendidikan yang diberikan TNI pada para
pelajar Papua, jauh dari penerapan pendidikan yang sesungguhnya mesti
membebaskan. Pendidikan berkurikulum saja menjadi masalah apa lagi TNI
yang mengajar dengan pola mereka yang represif. Yang diajarkan pun
paling-paling sekedar cara menyanyikan lagu Indonesia Raya, latihan
baris-berbaris, berhitung, dan lain-lain. Semuanya menjauhkan segala
bentuk budaya dan sejarah orang Papua. Kenyataan ini terjadi di
pegunungan Papua, seperti Puncak Papua, Merauke, Puncak Jaya, Wamena,
dan beberapa daerah terpencil lainnya di Papua.
Dari beberapa uraian singkat di atas, jelaslah bahwa pendidikan di
Papua saat ini dalam sebuah proses pemusnahan pada subjek manusia Papua.
Pemusnahan watak, cara, dan perilaku orang Papua dengan berbagai
program, kebijakan, dan Undang-Undang yang dibuat berdasarkan
kepentingan pemerintah Indonesia. Proses panjang tersebut, harus
dipatahkan dengan pendidikan yang membebaskan dan radikal.
Satu hal penting yang perlu untuk kita orang Papua dan non-Papua
pahami adalah sama seperti yang diungkapkan oleh Pdt. I.S. Kijne
dikutipan di atas. Sampai saat ini menjadi keyakinan orang Papua tentang
hal ini. Orang Papua tidak akan berkembang dan bangkit, ketika mereka
masih dipimpin orang lain.***
Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Sosiologi di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
0 komentar for "Pemekaran dan Proses Pemusnahan Manusia Papua Melalui Pendidikan"
Leave a reply